Minggu, 11 Oktober 2015

PERUNG, AREK SURABAYA YANG MALU MATI


                                 PERUNG, AREK SURABAYA YANG MALU MATI


(...) perkara  berjuang sampai mati, itu diinterpretasi  arek-arek Suroboyo dengan sumpah, yaitu “merdeka atau mati”.  Tapi apa interpretasinya ? Macem-macem. Ada rakyat biasa yang ikut kita (dalam Pertempuran Surabaya 1945), kebetulan menjadi sopir (kesatuan PTKR/Polisi Tentara Keamanan Rakyat). Kita namai dia Perung (telinganya “bengkok”) karena dilahirkan dengan (bantuan ditarik) tang. Itu seperti Subandrio (menteri luar negeri RI jaman Soekarno) yang juga perung. Pada hari itu, 10 November 1945, Perung (ikut mengalami) dibom, dimeriam, ditembaki dari atas. Itu dia kena kakinya, sampai tulangnya keluar. Saya lihat (Perung).
Merdeka, Pak Hario! Saya tolong …. (sambil memberi hormat dengan tangan karena Hario Kecik adalah wakil komandan PTKR)
(Saya jawab) Yo, wis. Ojok kuatir.
Saya malu mati ! (ujar Perung)
Coba bayangkan : saya malu mati !!! Itu interpretasinya rakyat biasa, bukan kita sebagai intelektual. Mengritik juga. Semua kita kritik. Seperti itu “merdeka atau mati” dikritik, wah itu cuma bombastis saja. Tapi rakyat yang menginterpretasikan, yang mengalami sendiri:  Saya malu mati, karena masih ingin membunuh Belanda sama Inggris.
Dan itu tidak betul, tidak betul kalau Belanda itu menunggangi Inggris pada 10 November (1945 di Surabaya). (Pada) 10 November (1945 itu) belum ada (kekuatan militer ) Belanda !  Belanda belum ada. Belanda masih menyusun kekuatannya. Dan (kesatuan khusus militer Belanda)  Divisi 7 Desember belum kembali (dari pelatihannya di AS). Dan orang-orang (Belanda) dari Prisonners of War (POW-nya tentara pendudukan Jepang) belum kembali. Jadi bersih pertempuran kita pada 10 November dan sebelumnya itu (pertempuran 3 hari di akhir Oktober 1945 yang melumpuhkan pasukan Inggris di bawah Jenderal Mallaby) dengan Inggris, tidak dengan Belanda. Itu (yang) diputar-balikkan oleh orang-orang yang ingin menulis yang macam-macam.
Jadi saudara-saudara, semua itu perlu ditinjau. Historical approach. Dan, the past is the key to the present.  Tapi KEY ! KEY ! Bukan the past to the present. Tidak. KEY! Kita yang harus pandai membukanya. Dan untuk pandai membukanya itu harus mengerti betul scientifically. Otak, saudara-saudara.


[Petikan pidato Hario Kecik di Gedung Juang 45, Jakarta, saat peluncuran buku karya Sri Bintang Pamungkas, awal tahun 2014]






Tidak ada komentar:

Posting Komentar