Jumat, 09 Oktober 2015

Mauser Pertempuran Surabaya 45 untuk Museum Tugu Pahlawan

Serah terima pistol Mausser Jerman sumbangan Suhario Padmodiwiryo -atau lebih dikenal sebagai Hario Kecik- kepada Walikota Surabaya saat upacara peringatan 10 November (2013) di Taman Surya, Surabaya (10/11). Senjata yang pernah digunakan Hario Kecik dalam Pertempuran Surabaya 45 sebagai salah satu komandan P.T.K.R.* itu kemudian menjadi koleksi Museum Tugu Pahlawan di Surabaya.
[*Polisi Tentara Keamanan Rakyat, sejak awal Oktober 1945 bermarkas di bekas Gedung Raad van Justitie yang dipakai oleh kesatuan Kenpeitai dalam masa penjajahan Jepang. Markas PTKR itu dihancurkan oleh bom dan tembakan meriam pasukan Inggris dalam pertempuran 10 November 1945. Di lokasi tersebut kemudian dibangun Tugu Pahlawan dan museumnya.]





TENTANG PISTOL MAUSER PARABELLUM
Hario Kecik

Pistol  ini buatan  pabrik senjata Mauser di Jerman, yang letaknya di tepi Sungai Neckar pada tahun 1908, sebelum Perang Dunia I. Kemudian pistol ini menjadi terkenal karena tingginya kualitasnya , dilihat dari sudut material yang digunakan dan konstruksi canggihnya, yang telah terbukti dalam penggunaan senjata itu dalam perang tersebut. Pistol itu menjadi semakin tersohor karena ternyata terpakai dalam setiap revolusi yang terjadi di berbagai masa dan tempat, mulai dari Revolusi Bolshewik di Rusia, Revolusi di China, dan di Amerika Latin.  Pistol Mauser Parabellum sangat terpuji di kalangan revolusioner maupun lawannya, karena kualitasnya yang menonjol itu.  Hingga dapat dikatakan bahwa pistol Mauser Parabellum sebagai suatu senjata legendaris bangsa-bangsa di seluruh dunia yang mengadakan revolusi.
Saya mulai mengenal bentuk senjata tersohor itu tadi, melewati
brosur dua buah toko Senjata di kota Surabaya, yaitu “Munaut” dan “Van der Linden”. Pada saat itu saya baru berumur  12 tahun, tapi saya sudah tertarik pada senjata-senjata api. Ini karena  dongengan Eyang saya tentang pemburuan hewan besar seperti banteng, dan kisah-kisah perang perlawanan nenek Moyang kita melawan VOC yang ada di Batavia sebagai bentengnya.
Dapat dibayangkan betapa meledaknya emosi saya, pada waktu saya melihat Pistol Parabellum itu dalam peti mati besar di  suatu ruangan di kompleks Gedung Kempei Tai Surabaya. Pada waktu itu Jenderal Iwabe menjadi Pimpinan Angkatan Darat di Jawa Timur dan membawahi Markas Kempei Tai di Pasar Besar. Ia menyatakan bersedia dipindahkan seluruh kesatuannya ke Kamp POW (Prisoner of War) besar yang berada di daerah Ketabang kota Surabaya.
Pada malam sebelumnya, kunci ruangan-ruangan dengan isi  seluruh
senjata dan material militer lainnya  di Markas Besar Kempei Tai  Pasar Besar, diserahkan kepada kelompok kecil terdiri atas 14 arek-arek kampung Soeroboyo yang saya ajak tetap menduduki Sayap kanan Markas Besar Kempei Tai itu.Bagaimanapun juga kelompok kecil  arek-arek kampung bersenjata  yang menduduki markas Kempei inilah, pihak yang dipandang oleh  militer Jepang sebagai perwakilan dari pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Dengan jantung berdebar-debar saya pada waktu itu melihat bahwa
ada tiga buah Pistol Parabellum di dalam peti besar yang berisi penuh pistol-pistol beraneka macam bentuk, merk dan Kaliber.  Saya ambil dua buah Pistol Parabellum untuk diri saya sendiri, sesuai dengan cita-cita saya waktu kanak-kanak untuk menyandang dua buah pistol  kembar.(Saya pada waktu kanak-kanak sudah terpengaruh oleh tulisan novel Karl May dan penulis Barat tentang Wild West lainnya.)
Seperti diketahui, Cak Hasanudin Pasopati selaku yang tertua di situ,
pada saat itu masih belum mempunyai senjata pribadi. Ini karena senjata dari PETA sudah dilucuti oleh Jepang dan ia tidak pernah ikut aktif dalam gerakan  rakyat Surabaya untuk merayah senjata Tentara Jepang. Dia akan sangat berterimakasih mendapat Mauser Parabellum dari saya itu, terlepas dari soal apakah ia bisa menggunakan pistol besar perang Jerman itu.
Betapa senangnya saya bahwa impian saya sebagai kanak-kanak dapat terlaksana. Senjata-senjata yang saya dapat merayah dari Butai Don Bosco dapat saya tinggalkan di rumah pada istri saya, yaitu Pistol Colt Automatic Cal.32, dan karaben pendek Arisaka cal, 6.5 mm. 
Inilah uraian perkara sejarah pistol Mauser Parabellum yang saya serahkan kepada Museum Tugu Pahlawan pada 10 November 2013 di Surabaya melewati kedua anak lelaki saya, dengan ikhlas hati.
Ternyata saya masih mendapat tugas dari KSAD, Jendral AH. Nasoetion, untuk menghadapi tentara Inggris,  musuh lama saya sebagai arek Surobojo, dari tahun 1959 sampai awal bulan Februari  1965 sebagai Panglima Kodam Kalimantan Timur.  Saya masih tetap membawa pistol Mauser Parabellum itu,  sebagai panglima dalam bergerak di hutan rimba Kalimantan Kodam saya.
Demikianlah kisah saya tentang  Pistol Mauser Parabellum itu. Mudah-mudahan dapat memuaskan para pembaca yang budiman.
Tentang “saudara kembar” pistol Mauser Parabellum saya itu, ada cerita tersendiri di kemudian hari. Saya hanya dapat menjelaskan bahwa di waktu saya mendapat tugas baru dari Jenderal Oerip Soemohardjo untuk menyusun organisasi  Counter Intelligence  Jawa Timur pada akhir tahun 1946[1], Saya kembali ke markas Dewan Pertahanan Daerah JawaTimur di kota Mojokerto  dan bertemu teman lama saya Soejono Prawirobismo. Ia pada waktu itu menjadi anggota badan itu, mewakili pihak kepolisian. Ia dengan memelas meminta saya, apakah saya mau meminjamkan salah satu dari dua buah pistol Mauser Parabellum itu, karena ia tidak mempunyai senjata pribadi. Saya melihat dirinya Soejono terpengaruh dan meminjamkan salah satu senjata saya padanya, mengingat juga bahwa pada waktu itu tidak ada perang dengan Belanda atau Inggris. Bertahun-tahun kemudian setelah jaman gerilya, karena kesibukan dalam tahun  1950-an saya lupa tentang saudara kembar pistol saya itu. Dan Soejono Prawirobismo pada waktu itu juga tidak bicara perkara hal itu walaupun ia sering ketemu saya, karena ia pernah bertugas sebagai perwira security di istana Negara. Saya ingat kembali pada “saudara kembar” pistol itu saat seorang bekas anggota TRIP menceritakan tentang Soejono Prawirobismo.  Katanya, ketika gerilya Prawirobismo dalam rumah penginapannya mengagetkan para gerilyawan, karena pistolnya yang besar menyeramkan itu meletus mendadak tanpa diketahui Si Prawirobismo itu sendiri. Saya dalam hati tertawa waktu mendengar laporan itu.  Memang cara pengamanan senjata itu setelah terisi  agak bisa membingungkan orang yang tidak mengetahui atau sudah mengenalnya.[2] Sebetulnya jika keturunannya yang sekarang memegang “pistol kembar” saya itu, dengan sukarela mengembalikan senjata itu pada saya. Supaya saya juga bisa memberikannya kepada Museum Tugu pahlawan 10 November.
Inilah keterangan saya tentang Pistol Mauser Parabellum yang telah
berjasa dalam sejarah Pertempuran besar dengan Inggris di kota Surabaya pada 1945.


Bekasi, November 2013







.  

.







  



 




[1] Telah ditulis sebagai buku berjudul Intelijen, diterbitkan oleh Abhiseka Dipantara, Jogja, pada tahun 2012.
[2] Cara pengaman senjata itu, setelah peluru dimasukkan dalam chamber laras pistol, dengan hammer berposisi ke belakang dan siap ditembakkan dengan menyentil trecker-nya.  Senjata meletus dan mengisi chamber larasnya dengan cartridge baru dari magazine senjata. Senjata dapat ditembakkan lagi dan berulang-ulang hingga isinya magazine yang sepuluh butir itu habis.  Senjata dengan terbuka siap menerima sisir peluru yang berisi sepuluh butir. Setelah peluru terakhir dari sisir peluru ditekan ke bawah oleh ibu jari si penembak masuk dalam magazine, senjata secara otomatis mendorong  cartridge yang terakhir tadi masuk chamber.  Sedangkan hammer masih tetap berposisi ke belakang. Jika sekarang trigger ditekan oleh trigger finger si penembak ke belakang, maka senjata meletus dan gerakan mekanis pistol terulang. Dapat dibayangkan bila orang yang memegang pistol itu hanya dengan separuh hati atau hanya secara pro forma ingin memegang pistol, dengan sendirinya bisa terjadi kecelakaan dalam meng-handle pistol itu. Hal itulah yang terjadi dengan teman kita polisi Soejono Prawirbismo itu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar