TENTANG PISTOL MAUSER
PARABELLUM
Hario
Kecik
Pistol ini buatan
pabrik senjata Mauser di
Jerman, yang letaknya di tepi Sungai Neckar pada tahun 1908, sebelum Perang Dunia
I. Kemudian pistol ini menjadi terkenal karena tingginya kualitasnya , dilihat dari
sudut material yang digunakan dan konstruksi canggihnya, yang telah terbukti
dalam penggunaan senjata itu dalam perang tersebut. Pistol itu menjadi semakin tersohor karena ternyata terpakai dalam
setiap revolusi yang terjadi di berbagai masa dan tempat, mulai dari Revolusi
Bolshewik di Rusia, Revolusi di China, dan di Amerika Latin. Pistol
Mauser Parabellum
sangat terpuji di kalangan
revolusioner maupun lawannya, karena kualitasnya yang menonjol itu. Hingga dapat dikatakan bahwa pistol Mauser Parabellum sebagai suatu senjata
legendaris bangsa-bangsa di seluruh dunia yang mengadakan revolusi.
Saya mulai mengenal bentuk senjata tersohor itu tadi,
melewati
brosur dua buah
toko Senjata di kota Surabaya, yaitu
“Munaut” dan “Van der Linden”. Pada
saat
itu saya baru berumur 12 tahun, tapi saya sudah tertarik pada senjata-senjata api. Ini karena dongengan Eyang saya tentang pemburuan hewan
besar seperti banteng,
dan kisah-kisah perang perlawanan nenek Moyang kita melawan VOC yang ada di
Batavia sebagai bentengnya.
Dapat dibayangkan betapa meledaknya
emosi saya, pada waktu saya melihat Pistol Parabellum
itu dalam peti mati besar di suatu
ruangan di kompleks Gedung Kempei Tai
Surabaya. Pada waktu itu Jenderal Iwabe menjadi Pimpinan Angkatan Darat di Jawa Timur
dan membawahi Markas Kempei Tai di
Pasar Besar.
Ia menyatakan
bersedia dipindahkan seluruh kesatuannya ke Kamp POW (Prisoner of War) besar yang berada di daerah Ketabang
kota Surabaya.
Pada malam sebelumnya, kunci ruangan-ruangan dengan isi seluruh
senjata dan material militer
lainnya di Markas Besar Kempei Tai Pasar Besar, diserahkan kepada kelompok kecil
terdiri atas 14 arek-arek kampung Soeroboyo yang saya ajak tetap menduduki
Sayap kanan Markas Besar Kempei Tai itu.Bagaimanapun juga kelompok kecil arek-arek
kampung bersenjata yang menduduki markas
Kempei inilah, pihak yang dipandang
oleh militer Jepang sebagai perwakilan
dari pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Dengan jantung berdebar-debar saya pada waktu itu melihat
bahwa
ada tiga buah
Pistol Parabellum di dalam peti besar
yang berisi penuh pistol-pistol beraneka macam bentuk, merk dan Kaliber. Saya ambil dua buah Pistol Parabellum untuk diri saya sendiri,
sesuai dengan cita-cita saya waktu kanak-kanak untuk menyandang dua buah
pistol kembar.(Saya pada waktu kanak-kanak sudah terpengaruh oleh tulisan
novel Karl May dan penulis Barat tentang Wild
West lainnya.)
Seperti diketahui, Cak
Hasanudin Pasopati selaku yang tertua di situ,
pada saat itu masih
belum mempunyai senjata pribadi. Ini karena senjata dari PETA sudah dilucuti
oleh Jepang dan ia tidak pernah ikut aktif dalam gerakan rakyat Surabaya untuk merayah senjata Tentara Jepang. Dia akan sangat berterimakasih
mendapat Mauser Parabellum dari saya
itu, terlepas dari soal apakah ia bisa menggunakan pistol besar perang Jerman
itu.
Betapa
senangnya saya bahwa impian saya sebagai kanak-kanak dapat terlaksana.
Senjata-senjata yang saya dapat merayah
dari Butai Don Bosco dapat saya
tinggalkan di rumah pada istri saya, yaitu Pistol Colt Automatic Cal.32, dan karaben pendek Arisaka cal, 6.5 mm.
Inilah
uraian perkara sejarah pistol Mauser Parabellum
yang saya serahkan kepada Museum Tugu Pahlawan pada 10 November 2013 di
Surabaya melewati kedua anak lelaki saya, dengan ikhlas hati.
Ternyata saya masih mendapat tugas
dari KSAD, Jendral AH. Nasoetion, untuk menghadapi tentara Inggris, musuh lama saya sebagai arek Surobojo, dari tahun 1959 sampai awal bulan Februari 1965 sebagai Panglima Kodam Kalimantan Timur. Saya masih tetap membawa pistol Mauser Parabellum itu, sebagai panglima dalam bergerak di hutan
rimba Kalimantan Kodam saya.
Demikianlah kisah saya tentang Pistol Mauser
Parabellum itu. Mudah-mudahan dapat memuaskan para pembaca yang budiman.
Tentang “saudara kembar” pistol Mauser Parabellum saya itu, ada cerita
tersendiri di kemudian hari. Saya hanya dapat menjelaskan bahwa di waktu saya mendapat
tugas baru dari Jenderal Oerip Soemohardjo untuk menyusun organisasi Counter
Intelligence Jawa Timur pada akhir tahun
1946[1],
Saya kembali ke markas Dewan Pertahanan Daerah JawaTimur di kota Mojokerto dan bertemu teman lama saya Soejono
Prawirobismo. Ia pada waktu itu menjadi anggota badan itu, mewakili pihak
kepolisian. Ia dengan memelas meminta
saya, apakah saya mau meminjamkan salah satu dari dua buah pistol Mauser Parabellum itu, karena ia tidak
mempunyai senjata pribadi. Saya melihat dirinya Soejono terpengaruh dan
meminjamkan salah satu senjata saya padanya, mengingat juga bahwa pada waktu
itu tidak ada perang dengan Belanda atau Inggris. Bertahun-tahun kemudian
setelah jaman gerilya, karena kesibukan dalam tahun 1950-an saya lupa tentang saudara kembar
pistol saya itu. Dan Soejono Prawirobismo pada waktu itu juga tidak bicara
perkara hal itu walaupun ia sering ketemu saya, karena ia pernah bertugas
sebagai perwira security di istana
Negara. Saya ingat kembali pada “saudara kembar” pistol itu saat seorang bekas
anggota TRIP menceritakan tentang Soejono Prawirobismo. Katanya, ketika gerilya Prawirobismo dalam
rumah penginapannya mengagetkan para gerilyawan, karena pistolnya yang besar
menyeramkan itu meletus mendadak tanpa diketahui Si Prawirobismo itu sendiri.
Saya dalam hati tertawa waktu mendengar laporan itu. Memang cara pengamanan senjata itu setelah
terisi agak bisa membingungkan orang
yang tidak mengetahui atau sudah mengenalnya.[2]
Sebetulnya jika keturunannya yang sekarang memegang “pistol kembar” saya itu,
dengan sukarela mengembalikan senjata itu pada saya. Supaya saya juga bisa
memberikannya kepada Museum Tugu pahlawan 10 November.
Inilah
keterangan saya tentang Pistol Mauser
Parabellum yang telah
berjasa dalam
sejarah Pertempuran besar dengan Inggris di kota Surabaya pada 1945.
Bekasi, November 2013
.
.
[1] Telah ditulis sebagai buku berjudul Intelijen, diterbitkan oleh Abhiseka Dipantara, Jogja, pada tahun
2012.
[2] Cara pengaman senjata itu,
setelah peluru dimasukkan dalam chamber
laras pistol, dengan hammer berposisi
ke belakang dan siap ditembakkan dengan menyentil trecker-nya. Senjata meletus
dan mengisi chamber larasnya dengan cartridge baru dari magazine senjata. Senjata dapat ditembakkan lagi dan berulang-ulang
hingga isinya magazine yang sepuluh
butir itu habis. Senjata dengan terbuka
siap menerima sisir peluru yang berisi sepuluh butir. Setelah peluru terakhir
dari sisir peluru ditekan ke bawah oleh ibu jari si penembak masuk dalam magazine, senjata secara otomatis
mendorong cartridge yang terakhir tadi masuk chamber. Sedangkan hammer masih tetap berposisi ke
belakang. Jika sekarang trigger
ditekan oleh trigger finger si
penembak ke belakang, maka senjata meletus dan gerakan mekanis pistol terulang.
Dapat dibayangkan bila orang yang memegang pistol itu hanya dengan separuh hati
atau hanya secara pro forma ingin
memegang pistol, dengan sendirinya bisa terjadi kecelakaan dalam meng-handle pistol itu. Hal itulah yang terjadi dengan teman kita polisi
Soejono Prawirbismo itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar