MOELYONO DAN SEPATU BOLONG
(Perebutan Senjata Marinir Jepang di Gubeng)
Dengan
berhati-hati kami (Hario Kecik dkk) menerobos dinding gedek dan pagar kawat berduri. Suasana di
dalam kompleks musuh sepi. Kami bergerak berhati-hati memandang keadaan sekitar
dengan perasaan tegang. Lorong yang dulu saya kenal sudah tidak ada, dinding
sebelah gedung-gedung sudah dibongkar, tapi selokan masih ada. Pohon srikaya di
ujung lorong juga tidak ada lagi. Saya ingat pohon itu karena kami sering
menyempatkan diri memetik buah yang sudah matang, sebelum memanjat jeruji besi
untuk bisa sampai ke Jl.Lokomotif.
Di
halaman rumah pertama kami temukan kendaraan berlapis baja kecil, di dalamnya
kosong tidak ada senjata. Bangunan-bangunan di belakang rumah-rumah kuno itu,
agaknya telah berubah fungsi menjadi gudang. Di dalamnya terdapat banyak sepatu
kulit tentara Jepang, suku cadang mobil dan truk, dan kaleng-kaleng yang entah apa
isinya. Tujuan utama kami adalah mencari senjata atau amunisi yang di situ
tidak bisa kami temukan. Saya tekankan pada kawan-kawan agar jangan mengambil
barang lain, seperti gelondongan kain driil
dan bahan pakaian lainnya.
Mulyono,
salah seorang dari kami, mengatakan bahwa sol sepatunya sudah berlubang. Kalau
diijinkan dia bermaksud menukarnya dengan yang ‘baru’. ”Menukar bukanlah mengambil,” katanya
dengan wajah serius.
Dalam suasana
tegang seperti itu masih juga ada humor di antara kami.
Permintaanya
saya ijinkan, tetapi harus cepat dilaksanakan. Sangat tidak heroik seandainya
ditembak mati musuh ketika sedang berganti sepatu.Sumber : Buku “Pertempuran Surabaya” karya Hario Kecik, Penerbit Abhiseka Dipantara, 2012. [Seri Petikan Memoar Hario Kecik]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar