Minggu, 11 Oktober 2015

CERITA OERIP, AREK PLAMPITAN SURABAYA

Saya  pernah waktu setelah mundur dari kota Surabaya Januari 1946, mendengar suatu kisah pendek dari seorang pejoang muda yang ikut dalam pertempuran Surabaya. Waktu itu kami memasuki sebuah warung di kota Jombang. Saya baru datang karena itu saya mengambil tempat duduk dengan jarak sopan dari kelompok pemuda yang sedang kongkow-kongkow. Seorang pemuda sedang bercerita. Entah bagaimana, mungkin saya kelihatan jelas Iebih tua dari mereka. Tiba-tiba Pemuda itu melontarkan suatu pertanyaan pada saya:
"Bung mau percaya apa tidak, jika saya cerita apa yang pernah saya alami, di waktu pertempuran Surabaya?"
Saya tatap pemuda itu dan saat itu juga mendadak ingat bahwa nama dia Oerip. Saya ingat dia, karena ia anak asal Plampitan Gang 3, rumahnya dekat rumah kami sebelum kami pindah ke rumah baru. Kami sering main bersama. Saya tidak dapat lupa dia karena dia terkenal sakit kuping dan karena itu agak tuli.
Ia pun balik memandang saya lalu dengan suara keras berkata, “Wah, jancuk, Su, Bei Pentol, hampir lupa saya. Kon opsir yo aduk rek sombong. Aku sik krucuk ae!” (kamu opsir ya aduh sombongnya. Saya masih bawahan saja.)
Dengan kata-kata itu ia mendekat dan memeluk saya.
Rupanya ia ingat siapa saya. Teman lamanya di masa kanak-kanak. Si Bei pentol itu nama ejekan bagi saya yang berarti ‘keturunan feodal yang rusak’, suatu istilah khas di kalangan bawah kota Surabaya. Merupakan suatu pencerminan perasaan anti feodal yang turun-temurun beredar di kalangan bawah kota Surabaya. Dan rupanya perasaan anti feodal itu semakin dieprtajam sewaktu Surabaya digempur terus-menerus oleh Mataram dalam abad ke-17 dan 18. Atau barangkali ‘attitude’ itu sudah mulai ada sejak abad ke-10, dengan adanya masyarakat orang buangan.
Oerip orangnya krempeng pendek, senapan Jepang panjang berbayonet yang ia pegang mengaksentuasikan pendek badannya. Pistol Luger di dalam holster diikat pingganya, kelihatan besar. Saya melepaskan diri dari pelukannya lalu dengan tawa berkata, “Jancuk, wis ojo kesuwen. Ayo kebaten ndongone, Rip. Aku percoyo-percoyo!” (sudah jangan lama-lama, ayo cepat berceritalah).
Ia mulai cerita. Begini:

Pada malam ketujuh Perang Surabaya, saya berada seorang diri di pos pertahanan kampung Pandean Peneleh. Pertahanan dua kampung itu seperti kita semua tahu, bergandengan dengan pertahanan kampung Plampitan. Di antara dua pertahanan kampung itu ada kuburan Belanda yang sangat luas.
Terus meneruh dari jauh terdengar tembakan mitraliur berat Inggris dan tembakan senapan dan keiki (senapan mesin ringan Jepang) dari pihak arek-arek. Letusan granat tangan kedengaran. Kedudukan Inggris di Semut sedang diganggu. Langit di arah itu merah, sudah tiga hari pabrik gas itu terbakar. Saya merasa sangat lelah, padahal hari itu pesawat-pesawat musuh tambah mengganas. Saya sangat mengantuk, teman-teman tidak kunjung datang. Mereka pergi untuk mencari makan. Salah satu dari mereka mempunyai budhe di Peneleh tidak jauh dari tempat saya. Tapi mereka kok belum datang juga? Mereka makan duluan barang kali, jancuk! Saya hampir-hampir tidak bisa menahan kantuk. Tembakan yang kedengarannya rame di sebenarang sungai di sekitar Kramat Gantung tidak jauh dari tempat saya, memaksa saya tetap membuka mata, harus waspada terhadap musuh yang datang dari Kalianyar. Rupanya saya toh tertidur. Saya berada di tengah-tengah orang banyak. Aneh, orang-orang itu bicara dalam bahasa yang tidak saya mengerti.
Kalau saya tidur berarti saya itu mimpi. Tapi semua rasanya seperti nyata. Saya mulai merasa takut. Orang-orang aneh itu mendorong saya untuk meninggalkan stelling. Saya terpaksa mengikuti mereka. Saya disorong terus sampai pertigaan jalan Peneleh-Kerkhoflaan di depan Hotel Slamet. Di situ saya hampir ditubruk oleh dua teman saya yang kembali dari mencari makan. Mereka ngos-ngosan membawa senapan mesin dengan pelurunya dan bontotan makanan dalam taplak meja. Mereka berteriak: ‘Awas Rip, Inggris, kenapa kamu? Mabuk ya. Kenapa kamu meninggalkan posmu?’
Saya bingung. Mana orang-orang banyak tadi itu? Dari arah datangnya teman-teman dari jembatan Peneleh musuh menembak dengan senapan mesin, peluru mendesing-desing lewat atas kepala kami. Matrawi tiarap hendak membalas tembakan musuh dengan senapan mesinnya. Tapi dari arah musuh memuntahkan pelurunya. Terdengar juga suara tank dari arah itu. Untung gelap, malam-malam kok ada tank bergerak, pasti diikuti pasukan. Kami dalam bahaya besar, bisa terjepit.
Saya pada saat itu sadar kembali, lalu beri perintah: ‘Mundur ke kuburan!’ Kami berlari secepat mungkin. Persis waktu masuk kuburan-Belanda itu dan berlindung, tank kedengaran datang, mendekat, lampu senter besarnya dinyalakan. Kami was-was takut kalau dimeriam. Tapi tank tetap membisu, barangkali masih menghormati kuburan. Untungnya kuburan itu kuburan-Belanda. Jika kuburan-Jawa, barangkali lain perkara. Tapi kami tidak hormat pada tank.
‘Mat, suklih-e tembaken’, bisik saya.
Matrawi memberikan brondongan pendek. Lampu tank mati seketika.
Matrawi puas. Kita memutuskan untuk mundur melewati kuburan ke kampung Pelampitan untuk lapor di pos komando batalyon yang ada di sana.
Di belakang kami lampu tank tiba-tiba menyala lagi. Matrawi memaki-maki. Sering kami dikagetkan dalam perjalanan oleh patung-patung marmer yang banyak terdapat di kuburan itu. Sesampai di Pos Komando saya tidak secara komplit lapor tentang apa yang saya alami tadi. Takut kalau tambah dimarahi komandan atau ditertawakan.
Oerip mengarahkan pertanyaan langsung pada saya, “Su, kamu percaya dongengan saya apa tidak?”
“Saya percaya kamu Rip”, jawab saya singkat.
Salah satu pemuda bertanya, “Orang-orang yang banyak itu siapa dan dari mana datangnya?”
Oerip menjawab, “Saya sudah bilang. Saya itu mimpi, tapi semuanya itu seperti sungguhan. Ah, mungki mereka itu roh-roh orang zaman dahulu, nenek moyang saya. Kamu tahu, saya lahir di Peneleh.”
“Rip, kamu diselamatkan oleh nenek moyangmu, kamu boleh bangga,” ujar saya. 
Oerip kelihatan senang.




Sumber : Buku “Pertempuran Surabaya” karya Hario Kecik, Penerbit Abhiseka Dipantara, 2012. [Seri Petikan Memoar Hario Kecik]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar