Minggu, 11 Oktober 2015

PERUNG, AREK SURABAYA YANG MALU MATI


                                 PERUNG, AREK SURABAYA YANG MALU MATI


(...) perkara  berjuang sampai mati, itu diinterpretasi  arek-arek Suroboyo dengan sumpah, yaitu “merdeka atau mati”.  Tapi apa interpretasinya ? Macem-macem. Ada rakyat biasa yang ikut kita (dalam Pertempuran Surabaya 1945), kebetulan menjadi sopir (kesatuan PTKR/Polisi Tentara Keamanan Rakyat). Kita namai dia Perung (telinganya “bengkok”) karena dilahirkan dengan (bantuan ditarik) tang. Itu seperti Subandrio (menteri luar negeri RI jaman Soekarno) yang juga perung. Pada hari itu, 10 November 1945, Perung (ikut mengalami) dibom, dimeriam, ditembaki dari atas. Itu dia kena kakinya, sampai tulangnya keluar. Saya lihat (Perung).
Merdeka, Pak Hario! Saya tolong …. (sambil memberi hormat dengan tangan karena Hario Kecik adalah wakil komandan PTKR)
(Saya jawab) Yo, wis. Ojok kuatir.
Saya malu mati ! (ujar Perung)
Coba bayangkan : saya malu mati !!! Itu interpretasinya rakyat biasa, bukan kita sebagai intelektual. Mengritik juga. Semua kita kritik. Seperti itu “merdeka atau mati” dikritik, wah itu cuma bombastis saja. Tapi rakyat yang menginterpretasikan, yang mengalami sendiri:  Saya malu mati, karena masih ingin membunuh Belanda sama Inggris.
Dan itu tidak betul, tidak betul kalau Belanda itu menunggangi Inggris pada 10 November (1945 di Surabaya). (Pada) 10 November (1945 itu) belum ada (kekuatan militer ) Belanda !  Belanda belum ada. Belanda masih menyusun kekuatannya. Dan (kesatuan khusus militer Belanda)  Divisi 7 Desember belum kembali (dari pelatihannya di AS). Dan orang-orang (Belanda) dari Prisonners of War (POW-nya tentara pendudukan Jepang) belum kembali. Jadi bersih pertempuran kita pada 10 November dan sebelumnya itu (pertempuran 3 hari di akhir Oktober 1945 yang melumpuhkan pasukan Inggris di bawah Jenderal Mallaby) dengan Inggris, tidak dengan Belanda. Itu (yang) diputar-balikkan oleh orang-orang yang ingin menulis yang macam-macam.
Jadi saudara-saudara, semua itu perlu ditinjau. Historical approach. Dan, the past is the key to the present.  Tapi KEY ! KEY ! Bukan the past to the present. Tidak. KEY! Kita yang harus pandai membukanya. Dan untuk pandai membukanya itu harus mengerti betul scientifically. Otak, saudara-saudara.


[Petikan pidato Hario Kecik di Gedung Juang 45, Jakarta, saat peluncuran buku karya Sri Bintang Pamungkas, awal tahun 2014]






MOELYONO DAN SEPATU BOLONG


                                      MOELYONO DAN SEPATU BOLONG
                                  (Perebutan Senjata Marinir Jepang di Gubeng)


Dengan berhati-hati kami (Hario Kecik dkk) menerobos dinding gedek dan pagar kawat berduri. Suasana di dalam kompleks musuh sepi. Kami bergerak berhati-hati memandang keadaan sekitar dengan perasaan tegang. Lorong yang dulu saya kenal sudah tidak ada, dinding sebelah gedung-gedung sudah dibongkar, tapi selokan masih ada. Pohon srikaya di ujung lorong juga tidak ada lagi. Saya ingat pohon itu karena kami sering menyempatkan diri memetik buah yang sudah matang, sebelum memanjat jeruji besi untuk bisa sampai ke Jl.Lokomotif.
                Di halaman rumah pertama kami temukan kendaraan berlapis baja kecil, di dalamnya kosong tidak ada senjata. Bangunan-bangunan di belakang rumah-rumah kuno itu, agaknya telah berubah fungsi menjadi gudang. Di dalamnya terdapat banyak sepatu kulit tentara Jepang, suku cadang mobil dan truk, dan kaleng-kaleng yang entah apa isinya. Tujuan utama kami adalah mencari senjata atau amunisi yang di situ tidak bisa kami temukan. Saya tekankan pada kawan-kawan agar jangan mengambil barang lain, seperti gelondongan kain driil dan bahan pakaian lainnya.                     
Mulyono, salah seorang dari kami, mengatakan bahwa sol sepatunya sudah berlubang. Kalau diijinkan dia bermaksud menukarnya dengan yang ‘baru’. ”Menukar bukanlah mengambil,” katanya dengan wajah serius.
Dalam suasana tegang seperti itu masih juga ada humor di antara kami.
          Permintaanya saya ijinkan, tetapi harus cepat dilaksanakan. Sangat tidak heroik seandainya ditembak mati musuh ketika sedang berganti sepatu.


Sumber : Buku “Pertempuran Surabaya” karya Hario Kecik, Penerbit Abhiseka Dipantara, 2012. [Seri Petikan Memoar Hario Kecik]






PETIKAN GITAR AREK KEDUNG KLINTER

Cerita yang lain beredar di kalangan keluarga kami sendiri, tentang Sukarji anggota kepanduan Surya Wirawan. Di antara keluarga isteri saya ia terkenal sebagai pemain gitar ulung, teristimewa kalau mengiringi lagu-lagu keroncong.
Pada suatu hari, ia pagi-pagi sekali pamit berangkat ke pos kelompok pejoang di Tegalsari yang tidak jauh dari rumahnya di Kedung Klinter. Sejak saat itu ia tidak pernah kembali lagi. Apakah ia kena langsung peluru meriam musuh hingga tubuhnya hancur lebur tanpa sisa? Tidak ada seorang pun yang tahu. Sebab hari itu Tegalsari menjadi sasaran artileri kapal perang Inggris.
Pacar Sukarji mencarinya di semua pos palang merah di dalam kota Surabaya, hingga sampai ke rumah sakit Kristen di Mojowarno di daerah Mojokerto, namun tanpa hasil. Pencarian itu dilanjutkan oleh pacarnya yang tetap setia, diteruskan selama satu tahun, tapi tidak pernah ada kabar berupa informasi walau sekecil-apapun.
Tapi apa yang kemudian terjadi?
Gitar Sukarji yang dititipkan di rumah budhenya kadang-kadang berbunyi sendiri di waktu malah sunyi. Hanya petikan baris pertama dari model melodi lagu keroncong ‘Rindu Malam’ - lagu kesayangan Sukarji……


Sumber : Buku “Pertempuran Surabaya” karya Hario Kecik, Penerbit Abhiseka Dipantara, 2012. [Seri Petikan Memoar Hario Kecik]


CERITA OERIP, AREK PLAMPITAN SURABAYA

Saya  pernah waktu setelah mundur dari kota Surabaya Januari 1946, mendengar suatu kisah pendek dari seorang pejoang muda yang ikut dalam pertempuran Surabaya. Waktu itu kami memasuki sebuah warung di kota Jombang. Saya baru datang karena itu saya mengambil tempat duduk dengan jarak sopan dari kelompok pemuda yang sedang kongkow-kongkow. Seorang pemuda sedang bercerita. Entah bagaimana, mungkin saya kelihatan jelas Iebih tua dari mereka. Tiba-tiba Pemuda itu melontarkan suatu pertanyaan pada saya:
"Bung mau percaya apa tidak, jika saya cerita apa yang pernah saya alami, di waktu pertempuran Surabaya?"
Saya tatap pemuda itu dan saat itu juga mendadak ingat bahwa nama dia Oerip. Saya ingat dia, karena ia anak asal Plampitan Gang 3, rumahnya dekat rumah kami sebelum kami pindah ke rumah baru. Kami sering main bersama. Saya tidak dapat lupa dia karena dia terkenal sakit kuping dan karena itu agak tuli.
Ia pun balik memandang saya lalu dengan suara keras berkata, “Wah, jancuk, Su, Bei Pentol, hampir lupa saya. Kon opsir yo aduk rek sombong. Aku sik krucuk ae!” (kamu opsir ya aduh sombongnya. Saya masih bawahan saja.)
Dengan kata-kata itu ia mendekat dan memeluk saya.
Rupanya ia ingat siapa saya. Teman lamanya di masa kanak-kanak. Si Bei pentol itu nama ejekan bagi saya yang berarti ‘keturunan feodal yang rusak’, suatu istilah khas di kalangan bawah kota Surabaya. Merupakan suatu pencerminan perasaan anti feodal yang turun-temurun beredar di kalangan bawah kota Surabaya. Dan rupanya perasaan anti feodal itu semakin dieprtajam sewaktu Surabaya digempur terus-menerus oleh Mataram dalam abad ke-17 dan 18. Atau barangkali ‘attitude’ itu sudah mulai ada sejak abad ke-10, dengan adanya masyarakat orang buangan.
Oerip orangnya krempeng pendek, senapan Jepang panjang berbayonet yang ia pegang mengaksentuasikan pendek badannya. Pistol Luger di dalam holster diikat pingganya, kelihatan besar. Saya melepaskan diri dari pelukannya lalu dengan tawa berkata, “Jancuk, wis ojo kesuwen. Ayo kebaten ndongone, Rip. Aku percoyo-percoyo!” (sudah jangan lama-lama, ayo cepat berceritalah).
Ia mulai cerita. Begini:

Pada malam ketujuh Perang Surabaya, saya berada seorang diri di pos pertahanan kampung Pandean Peneleh. Pertahanan dua kampung itu seperti kita semua tahu, bergandengan dengan pertahanan kampung Plampitan. Di antara dua pertahanan kampung itu ada kuburan Belanda yang sangat luas.
Terus meneruh dari jauh terdengar tembakan mitraliur berat Inggris dan tembakan senapan dan keiki (senapan mesin ringan Jepang) dari pihak arek-arek. Letusan granat tangan kedengaran. Kedudukan Inggris di Semut sedang diganggu. Langit di arah itu merah, sudah tiga hari pabrik gas itu terbakar. Saya merasa sangat lelah, padahal hari itu pesawat-pesawat musuh tambah mengganas. Saya sangat mengantuk, teman-teman tidak kunjung datang. Mereka pergi untuk mencari makan. Salah satu dari mereka mempunyai budhe di Peneleh tidak jauh dari tempat saya. Tapi mereka kok belum datang juga? Mereka makan duluan barang kali, jancuk! Saya hampir-hampir tidak bisa menahan kantuk. Tembakan yang kedengarannya rame di sebenarang sungai di sekitar Kramat Gantung tidak jauh dari tempat saya, memaksa saya tetap membuka mata, harus waspada terhadap musuh yang datang dari Kalianyar. Rupanya saya toh tertidur. Saya berada di tengah-tengah orang banyak. Aneh, orang-orang itu bicara dalam bahasa yang tidak saya mengerti.
Kalau saya tidur berarti saya itu mimpi. Tapi semua rasanya seperti nyata. Saya mulai merasa takut. Orang-orang aneh itu mendorong saya untuk meninggalkan stelling. Saya terpaksa mengikuti mereka. Saya disorong terus sampai pertigaan jalan Peneleh-Kerkhoflaan di depan Hotel Slamet. Di situ saya hampir ditubruk oleh dua teman saya yang kembali dari mencari makan. Mereka ngos-ngosan membawa senapan mesin dengan pelurunya dan bontotan makanan dalam taplak meja. Mereka berteriak: ‘Awas Rip, Inggris, kenapa kamu? Mabuk ya. Kenapa kamu meninggalkan posmu?’
Saya bingung. Mana orang-orang banyak tadi itu? Dari arah datangnya teman-teman dari jembatan Peneleh musuh menembak dengan senapan mesin, peluru mendesing-desing lewat atas kepala kami. Matrawi tiarap hendak membalas tembakan musuh dengan senapan mesinnya. Tapi dari arah musuh memuntahkan pelurunya. Terdengar juga suara tank dari arah itu. Untung gelap, malam-malam kok ada tank bergerak, pasti diikuti pasukan. Kami dalam bahaya besar, bisa terjepit.
Saya pada saat itu sadar kembali, lalu beri perintah: ‘Mundur ke kuburan!’ Kami berlari secepat mungkin. Persis waktu masuk kuburan-Belanda itu dan berlindung, tank kedengaran datang, mendekat, lampu senter besarnya dinyalakan. Kami was-was takut kalau dimeriam. Tapi tank tetap membisu, barangkali masih menghormati kuburan. Untungnya kuburan itu kuburan-Belanda. Jika kuburan-Jawa, barangkali lain perkara. Tapi kami tidak hormat pada tank.
‘Mat, suklih-e tembaken’, bisik saya.
Matrawi memberikan brondongan pendek. Lampu tank mati seketika.
Matrawi puas. Kita memutuskan untuk mundur melewati kuburan ke kampung Pelampitan untuk lapor di pos komando batalyon yang ada di sana.
Di belakang kami lampu tank tiba-tiba menyala lagi. Matrawi memaki-maki. Sering kami dikagetkan dalam perjalanan oleh patung-patung marmer yang banyak terdapat di kuburan itu. Sesampai di Pos Komando saya tidak secara komplit lapor tentang apa yang saya alami tadi. Takut kalau tambah dimarahi komandan atau ditertawakan.
Oerip mengarahkan pertanyaan langsung pada saya, “Su, kamu percaya dongengan saya apa tidak?”
“Saya percaya kamu Rip”, jawab saya singkat.
Salah satu pemuda bertanya, “Orang-orang yang banyak itu siapa dan dari mana datangnya?”
Oerip menjawab, “Saya sudah bilang. Saya itu mimpi, tapi semuanya itu seperti sungguhan. Ah, mungki mereka itu roh-roh orang zaman dahulu, nenek moyang saya. Kamu tahu, saya lahir di Peneleh.”
“Rip, kamu diselamatkan oleh nenek moyangmu, kamu boleh bangga,” ujar saya. 
Oerip kelihatan senang.




Sumber : Buku “Pertempuran Surabaya” karya Hario Kecik, Penerbit Abhiseka Dipantara, 2012. [Seri Petikan Memoar Hario Kecik]

Jumat, 09 Oktober 2015

Berita Museum 10 November & Sumbangan Mayjen Soengkono


Keluarga Serahkan Benda-benda Mayjen. Soengkono

[1 November 2013]

Dokumen dan benda-benda bersejarah milik Mayjen Soengkono, mantan komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR) Kota Surabaya kini menjadi koleksi di Museum 10 Nopember Surabaya. Serah terima dilakukan di ruang kerja Walikota Surabaya, Ir Tri Rismaharini MT, Jumat (1/10). Keluarga Mayjen Soengkono yang hadir dalam serah terima tersebut yakni anak pertama Andijani Soengkono, anak kedua Bambang Lumaksono Soengkono, keponakan Mayjen Soengkono serta cucu pertama Mayjen Soengkono.

Andijani Soengkono mengaku senang dapat menyerahkan benda-benda bersejarah milik ayahnya kepada Pemkot Surabaya untuk dipamerkan di museum.  Ia mengaku bahagia jika benda-benda ini dimuseumkan dan bisa dilihat masyarakat umum. Ia berharap dapat benda-benda tersebut dapat memunculkan semangat bagi yang melihatnya.

Tri Rismaharini, Walikota Surabaya memberikan apresiasi kepada keluarga besar Mayjen Soengkono atas penyerahan dokumen dan benda koleksi bersejarah tersebut kepada Pemkot Surabaya. Walikota berharap, dengan bertambahnya koleksi benda-benda bersejarah di Museum 10 Nopember, akan semakin memotivasi warga Surabaya khususnya generasi muda untuk berkunjung ke museum.

Sementara Wiwiek Widayati, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya, mengatakan, sejak tahun lalu, Pemkot Surabaya memang berkeinginan melengkapi koleksi di Museum 10 Nopember. Walikota Risma kemudian menyampaikan permohonan kepada tokoh-tokoh pejuang yang terlibat dalam perang 10 Nopember 1945 seperti HR Mohammad, Mayjen Soengkono, M.Jasin dan Suhario Padmodiwiryo (Hario Kecik).

Sub unit konservasi dan preparasi monument Tugu Pahlawan dan Museum 10 Nopember, MT Agustiono mengatakan, total ada 26 dokumen dan benda bersejarah milik Mayjend Soengkono yang diserahkan ke Pemkot Surabaya. Rencananya benda-benda tersebut akan diletakkan di ruang bawah areal Hall of Fame Museum 10 Nopember.

http://www.surabaya.go.id/berita/detail.php?id=27081
01/11/2013 15:08:28


Berita Museum 10 November & Sumbangan Hario Kecik

Museum 10 Nopember Tambah Koleksi

10-11-2013
Surabaya, beritasurabaya.net

Koleksi benda-benda bersejarah yang dimiliki Pemkot Surabaya dipastikan bertambah. Hal itu seiring diserahkannya barang milik Suhario Padmodiwiryo atau yang lebih dikenal dengan nama Hario Kecik. Penambahan tersebut sekaligus menjadi kado istimewa bagi Kota Surabaya karena bertepatan dengan momen Hari Pahlawan.
Barang-barang milik Hario Kecik diserahkan oleh Girindro Hanantoseno (putra kedua Hario Kecik) usai upacara peringatan Hari Pahlawan di Taman Surya, Minggu (10/11/2013). Girindro datang didampingi sang adik, Satrio Bimo serta adik ipar Hario Kecik.
Adapun beberapa barang milik mantan Jenderal yang turut melakukan pengepungan markas Polisi Rahasia Kenpetai itu meliputi sepucuk pistol jenis Mauser, buku mengenai intelejen pada masa peperangan yang ditulis sendiri oleh Hario Kecik, dan buku Memoir Hario Kecik.
Sebagai informasi, Hario Kecik adalah pejuang 45 dan salah satu pendiri kesatuan militer Republik Indonesia. Pengalamannya di Fort Benning, Georgia, AS (1956) dan College Suvorov Moskow (1965) menjadikan Hario Kecik satu-satunya perwira militer dari Indonesia yang memiliki pengalaman di dua pusat kekuasaan dunia kala itu.
''Penyerahan barang-barang bersejarah ini adalah murni amanat dari Bapak (Hario Kecik) sendiri. Sekiranya ini semua bisa disumbangkan kepada museum sehingga menjadi berguna bagi generasi muda,''kata Girindro.
Menurut Girindro, pistol Mauser lengkap dengan sarungnya merupakan salah satu benda kesayangan ayahnya. Senjata buatan Jerman yang kondang pada era Perang Dunia I dan II tersebut, kata Girindro, selalu digunakan Hario Kecik hampir di setiap pertempuran sepanjang karirnya.
''Semoga benda-benda ini dapat merepresentasi kronologi dan kejelasan sejarah langsung dari pelaku sejarahnya sendiri,''imbuhnya.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menyambut baik bertambahnya koleksi benda-benda bersejarah ini. Nantinya, benda-benda tersebut akan ditempatkan di museum 10 Nopember yang terletak di kawasan Tugu Pahlawan. Tak lupa dia mengucapkan terima kasih kepada keluarga besar Suhario Padmodiwiryo. (tia)

http://beritasurabaya.net/index_sub.php?category=11&id=10387&tags=Museum-10-Nopember-Tambah-Koleksi-


Mauser Pertempuran Surabaya 45 untuk Museum Tugu Pahlawan

Serah terima pistol Mausser Jerman sumbangan Suhario Padmodiwiryo -atau lebih dikenal sebagai Hario Kecik- kepada Walikota Surabaya saat upacara peringatan 10 November (2013) di Taman Surya, Surabaya (10/11). Senjata yang pernah digunakan Hario Kecik dalam Pertempuran Surabaya 45 sebagai salah satu komandan P.T.K.R.* itu kemudian menjadi koleksi Museum Tugu Pahlawan di Surabaya.
[*Polisi Tentara Keamanan Rakyat, sejak awal Oktober 1945 bermarkas di bekas Gedung Raad van Justitie yang dipakai oleh kesatuan Kenpeitai dalam masa penjajahan Jepang. Markas PTKR itu dihancurkan oleh bom dan tembakan meriam pasukan Inggris dalam pertempuran 10 November 1945. Di lokasi tersebut kemudian dibangun Tugu Pahlawan dan museumnya.]





TENTANG PISTOL MAUSER PARABELLUM
Hario Kecik

Pistol  ini buatan  pabrik senjata Mauser di Jerman, yang letaknya di tepi Sungai Neckar pada tahun 1908, sebelum Perang Dunia I. Kemudian pistol ini menjadi terkenal karena tingginya kualitasnya , dilihat dari sudut material yang digunakan dan konstruksi canggihnya, yang telah terbukti dalam penggunaan senjata itu dalam perang tersebut. Pistol itu menjadi semakin tersohor karena ternyata terpakai dalam setiap revolusi yang terjadi di berbagai masa dan tempat, mulai dari Revolusi Bolshewik di Rusia, Revolusi di China, dan di Amerika Latin.  Pistol Mauser Parabellum sangat terpuji di kalangan revolusioner maupun lawannya, karena kualitasnya yang menonjol itu.  Hingga dapat dikatakan bahwa pistol Mauser Parabellum sebagai suatu senjata legendaris bangsa-bangsa di seluruh dunia yang mengadakan revolusi.
Saya mulai mengenal bentuk senjata tersohor itu tadi, melewati
brosur dua buah toko Senjata di kota Surabaya, yaitu “Munaut” dan “Van der Linden”. Pada saat itu saya baru berumur  12 tahun, tapi saya sudah tertarik pada senjata-senjata api. Ini karena  dongengan Eyang saya tentang pemburuan hewan besar seperti banteng, dan kisah-kisah perang perlawanan nenek Moyang kita melawan VOC yang ada di Batavia sebagai bentengnya.
Dapat dibayangkan betapa meledaknya emosi saya, pada waktu saya melihat Pistol Parabellum itu dalam peti mati besar di  suatu ruangan di kompleks Gedung Kempei Tai Surabaya. Pada waktu itu Jenderal Iwabe menjadi Pimpinan Angkatan Darat di Jawa Timur dan membawahi Markas Kempei Tai di Pasar Besar. Ia menyatakan bersedia dipindahkan seluruh kesatuannya ke Kamp POW (Prisoner of War) besar yang berada di daerah Ketabang kota Surabaya.
Pada malam sebelumnya, kunci ruangan-ruangan dengan isi  seluruh
senjata dan material militer lainnya  di Markas Besar Kempei Tai  Pasar Besar, diserahkan kepada kelompok kecil terdiri atas 14 arek-arek kampung Soeroboyo yang saya ajak tetap menduduki Sayap kanan Markas Besar Kempei Tai itu.Bagaimanapun juga kelompok kecil  arek-arek kampung bersenjata  yang menduduki markas Kempei inilah, pihak yang dipandang oleh  militer Jepang sebagai perwakilan dari pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Dengan jantung berdebar-debar saya pada waktu itu melihat bahwa
ada tiga buah Pistol Parabellum di dalam peti besar yang berisi penuh pistol-pistol beraneka macam bentuk, merk dan Kaliber.  Saya ambil dua buah Pistol Parabellum untuk diri saya sendiri, sesuai dengan cita-cita saya waktu kanak-kanak untuk menyandang dua buah pistol  kembar.(Saya pada waktu kanak-kanak sudah terpengaruh oleh tulisan novel Karl May dan penulis Barat tentang Wild West lainnya.)
Seperti diketahui, Cak Hasanudin Pasopati selaku yang tertua di situ,
pada saat itu masih belum mempunyai senjata pribadi. Ini karena senjata dari PETA sudah dilucuti oleh Jepang dan ia tidak pernah ikut aktif dalam gerakan  rakyat Surabaya untuk merayah senjata Tentara Jepang. Dia akan sangat berterimakasih mendapat Mauser Parabellum dari saya itu, terlepas dari soal apakah ia bisa menggunakan pistol besar perang Jerman itu.
Betapa senangnya saya bahwa impian saya sebagai kanak-kanak dapat terlaksana. Senjata-senjata yang saya dapat merayah dari Butai Don Bosco dapat saya tinggalkan di rumah pada istri saya, yaitu Pistol Colt Automatic Cal.32, dan karaben pendek Arisaka cal, 6.5 mm. 
Inilah uraian perkara sejarah pistol Mauser Parabellum yang saya serahkan kepada Museum Tugu Pahlawan pada 10 November 2013 di Surabaya melewati kedua anak lelaki saya, dengan ikhlas hati.
Ternyata saya masih mendapat tugas dari KSAD, Jendral AH. Nasoetion, untuk menghadapi tentara Inggris,  musuh lama saya sebagai arek Surobojo, dari tahun 1959 sampai awal bulan Februari  1965 sebagai Panglima Kodam Kalimantan Timur.  Saya masih tetap membawa pistol Mauser Parabellum itu,  sebagai panglima dalam bergerak di hutan rimba Kalimantan Kodam saya.
Demikianlah kisah saya tentang  Pistol Mauser Parabellum itu. Mudah-mudahan dapat memuaskan para pembaca yang budiman.
Tentang “saudara kembar” pistol Mauser Parabellum saya itu, ada cerita tersendiri di kemudian hari. Saya hanya dapat menjelaskan bahwa di waktu saya mendapat tugas baru dari Jenderal Oerip Soemohardjo untuk menyusun organisasi  Counter Intelligence  Jawa Timur pada akhir tahun 1946[1], Saya kembali ke markas Dewan Pertahanan Daerah JawaTimur di kota Mojokerto  dan bertemu teman lama saya Soejono Prawirobismo. Ia pada waktu itu menjadi anggota badan itu, mewakili pihak kepolisian. Ia dengan memelas meminta saya, apakah saya mau meminjamkan salah satu dari dua buah pistol Mauser Parabellum itu, karena ia tidak mempunyai senjata pribadi. Saya melihat dirinya Soejono terpengaruh dan meminjamkan salah satu senjata saya padanya, mengingat juga bahwa pada waktu itu tidak ada perang dengan Belanda atau Inggris. Bertahun-tahun kemudian setelah jaman gerilya, karena kesibukan dalam tahun  1950-an saya lupa tentang saudara kembar pistol saya itu. Dan Soejono Prawirobismo pada waktu itu juga tidak bicara perkara hal itu walaupun ia sering ketemu saya, karena ia pernah bertugas sebagai perwira security di istana Negara. Saya ingat kembali pada “saudara kembar” pistol itu saat seorang bekas anggota TRIP menceritakan tentang Soejono Prawirobismo.  Katanya, ketika gerilya Prawirobismo dalam rumah penginapannya mengagetkan para gerilyawan, karena pistolnya yang besar menyeramkan itu meletus mendadak tanpa diketahui Si Prawirobismo itu sendiri. Saya dalam hati tertawa waktu mendengar laporan itu.  Memang cara pengamanan senjata itu setelah terisi  agak bisa membingungkan orang yang tidak mengetahui atau sudah mengenalnya.[2] Sebetulnya jika keturunannya yang sekarang memegang “pistol kembar” saya itu, dengan sukarela mengembalikan senjata itu pada saya. Supaya saya juga bisa memberikannya kepada Museum Tugu pahlawan 10 November.
Inilah keterangan saya tentang Pistol Mauser Parabellum yang telah
berjasa dalam sejarah Pertempuran besar dengan Inggris di kota Surabaya pada 1945.


Bekasi, November 2013







.  

.







  



 




[1] Telah ditulis sebagai buku berjudul Intelijen, diterbitkan oleh Abhiseka Dipantara, Jogja, pada tahun 2012.
[2] Cara pengaman senjata itu, setelah peluru dimasukkan dalam chamber laras pistol, dengan hammer berposisi ke belakang dan siap ditembakkan dengan menyentil trecker-nya.  Senjata meletus dan mengisi chamber larasnya dengan cartridge baru dari magazine senjata. Senjata dapat ditembakkan lagi dan berulang-ulang hingga isinya magazine yang sepuluh butir itu habis.  Senjata dengan terbuka siap menerima sisir peluru yang berisi sepuluh butir. Setelah peluru terakhir dari sisir peluru ditekan ke bawah oleh ibu jari si penembak masuk dalam magazine, senjata secara otomatis mendorong  cartridge yang terakhir tadi masuk chamber.  Sedangkan hammer masih tetap berposisi ke belakang. Jika sekarang trigger ditekan oleh trigger finger si penembak ke belakang, maka senjata meletus dan gerakan mekanis pistol terulang. Dapat dibayangkan bila orang yang memegang pistol itu hanya dengan separuh hati atau hanya secara pro forma ingin memegang pistol, dengan sendirinya bisa terjadi kecelakaan dalam meng-handle pistol itu. Hal itulah yang terjadi dengan teman kita polisi Soejono Prawirbismo itu.