CERITA OERIP,
AREK PLAMPITAN SURABAYA
Saya
pernah waktu setelah mundur dari kota
Surabaya Januari 1946, mendengar suatu kisah pendek dari seorang pejoang muda
yang ikut dalam pertempuran Surabaya. Waktu itu kami memasuki sebuah warung di
kota Jombang. Saya baru datang karena itu saya mengambil tempat duduk dengan
jarak sopan dari kelompok pemuda yang sedang kongkow-kongkow. Seorang pemuda sedang bercerita. Entah bagaimana,
mungkin saya kelihatan jelas Iebih tua dari mereka. Tiba-tiba Pemuda itu
melontarkan suatu pertanyaan pada saya:
"Bung
mau percaya apa tidak, jika saya cerita apa yang pernah saya alami, di waktu
pertempuran Surabaya?"
Saya tatap pemuda itu dan saat itu juga
mendadak ingat bahwa nama dia Oerip. Saya ingat dia, karena ia anak asal
Plampitan Gang 3, rumahnya dekat rumah kami sebelum kami pindah ke rumah baru.
Kami sering main bersama. Saya tidak dapat lupa dia karena dia terkenal sakit
kuping dan karena itu agak tuli.
Ia pun balik memandang saya lalu dengan
suara keras berkata, “Wah, jancuk, Su,
Bei Pentol, hampir lupa saya. Kon opsir yo aduk rek sombong. Aku sik krucuk ae!”
(kamu opsir ya aduh sombongnya. Saya masih bawahan saja.)
Dengan kata-kata itu ia mendekat dan
memeluk saya.
Rupanya
ia ingat siapa saya. Teman
lamanya di masa kanak-kanak. Si Bei
pentol itu nama ejekan bagi saya yang berarti ‘keturunan feodal yang
rusak’, suatu istilah khas di kalangan bawah kota Surabaya. Merupakan suatu
pencerminan perasaan anti feodal yang turun-temurun beredar di kalangan bawah
kota Surabaya. Dan rupanya perasaan anti feodal itu semakin dieprtajam sewaktu
Surabaya digempur terus-menerus oleh Mataram dalam abad ke-17 dan 18. Atau
barangkali ‘attitude’ itu sudah mulai ada sejak abad ke-10, dengan adanya
masyarakat orang buangan.
Oerip orangnya krempeng pendek, senapan
Jepang panjang berbayonet yang ia pegang mengaksentuasikan pendek badannya. Pistol
Luger di dalam holster diikat pingganya, kelihatan besar. Saya melepaskan diri
dari pelukannya lalu dengan tawa berkata, “Jancuk,
wis ojo kesuwen. Ayo kebaten ndongone, Rip. Aku percoyo-percoyo!” (sudah jangan lama-lama, ayo cepat
berceritalah).
Ia mulai cerita. Begini:
Pada
malam ketujuh Perang Surabaya, saya berada seorang diri di pos pertahanan
kampung Pandean Peneleh. Pertahanan dua kampung itu seperti kita semua tahu,
bergandengan dengan pertahanan kampung Plampitan. Di antara dua pertahanan
kampung itu ada kuburan Belanda yang sangat luas.
Terus meneruh dari jauh terdengar
tembakan mitraliur berat Inggris dan tembakan senapan dan keiki (senapan mesin
ringan Jepang) dari pihak arek-arek. Letusan granat tangan kedengaran.
Kedudukan Inggris di Semut sedang diganggu. Langit di arah itu merah, sudah
tiga hari pabrik gas itu terbakar. Saya
merasa sangat lelah, padahal hari itu pesawat-pesawat musuh tambah mengganas. Saya sangat mengantuk, teman-teman
tidak kunjung datang. Mereka pergi untuk mencari makan. Salah satu dari mereka
mempunyai budhe di Peneleh tidak jauh dari tempat saya. Tapi mereka kok belum
datang juga? Mereka makan duluan barang kali, jancuk! Saya hampir-hampir tidak
bisa menahan kantuk. Tembakan yang kedengarannya rame di sebenarang sungai di
sekitar Kramat Gantung tidak jauh dari tempat saya, memaksa saya tetap membuka
mata, harus waspada terhadap musuh yang datang dari Kalianyar. Rupanya saya toh tertidur. Saya berada di tengah-tengah
orang banyak. Aneh, orang-orang itu bicara dalam bahasa yang tidak saya
mengerti.
Kalau
saya tidur berarti saya itu mimpi. Tapi semua rasanya seperti nyata. Saya mulai
merasa takut. Orang-orang aneh itu mendorong saya untuk meninggalkan stelling. Saya terpaksa mengikuti
mereka. Saya disorong terus sampai pertigaan jalan Peneleh-Kerkhoflaan di depan Hotel Slamet. Di situ saya hampir ditubruk
oleh dua teman saya yang kembali dari mencari makan. Mereka ngos-ngosan membawa senapan mesin dengan
pelurunya dan bontotan makanan dalam
taplak meja. Mereka
berteriak: ‘Awas Rip, Inggris, kenapa kamu? Mabuk ya. Kenapa kamu
meninggalkan posmu?’
Saya bingung. Mana orang-orang banyak
tadi itu? Dari arah datangnya teman-teman dari jembatan Peneleh musuh menembak
dengan senapan mesin, peluru mendesing-desing lewat atas kepala kami. Matrawi
tiarap hendak membalas tembakan musuh dengan senapan mesinnya. Tapi dari arah
musuh memuntahkan pelurunya. Terdengar juga suara tank dari arah itu. Untung gelap,
malam-malam kok ada tank bergerak, pasti diikuti pasukan. Kami dalam bahaya
besar, bisa terjepit.
Saya pada saat itu sadar kembali, lalu
beri perintah: ‘Mundur ke kuburan!’ Kami berlari secepat mungkin. Persis waktu
masuk kuburan-Belanda itu dan berlindung, tank kedengaran datang, mendekat,
lampu senter besarnya dinyalakan. Kami was-was takut kalau dimeriam. Tapi tank
tetap membisu, barangkali masih menghormati kuburan. Untungnya kuburan itu
kuburan-Belanda. Jika kuburan-Jawa, barangkali lain perkara. Tapi kami tidak
hormat pada tank.
‘Mat,
suklih-e tembaken’, bisik saya.
Matrawi memberikan brondongan pendek.
Lampu tank mati seketika.
Matrawi puas. Kita memutuskan untuk
mundur melewati kuburan ke kampung Pelampitan untuk lapor di pos komando
batalyon yang ada di sana.
Di belakang kami lampu tank tiba-tiba
menyala lagi. Matrawi memaki-maki. Sering kami dikagetkan dalam perjalanan oleh
patung-patung marmer yang banyak terdapat di kuburan itu. Sesampai di Pos Komando saya tidak secara komplit lapor
tentang apa yang saya alami tadi. Takut kalau tambah dimarahi komandan atau ditertawakan.
Oerip mengarahkan pertanyaan langsung
pada saya, “Su, kamu percaya dongengan saya apa tidak?”
“Saya
percaya kamu Rip”, jawab saya singkat.
Salah
satu pemuda bertanya, “Orang-orang yang banyak itu siapa dan dari mana
datangnya?”
Oerip
menjawab, “Saya sudah bilang. Saya itu mimpi, tapi semuanya itu seperti
sungguhan. Ah, mungki mereka itu roh-roh orang zaman dahulu, nenek moyang saya.
Kamu tahu, saya lahir di Peneleh.”
“Rip, kamu diselamatkan oleh nenek moyangmu, kamu boleh
bangga,” ujar saya.
Oerip kelihatan senang.
Sumber : Buku “Pertempuran Surabaya” karya Hario Kecik, Penerbit
Abhiseka Dipantara, 2012. [Seri Petikan Memoar Hario Kecik]