Tanggal 17 Agustus 1945, Dwi-Tunggal memaklumatkan
kemerdekaan bangsa. Tapi lima minggu kemudian, terhadap Negara merdeka itu,
Mayor Jenderal NLW van Straten, seorang komandan tentara Belanda [KNIL] membuat
maklumat yang berbunyi seperti ini:
“de
geheele Republiekbeweging heeft niet veel om het lijf…. Bij eenig machtsvertoon
zal ....de zaak ineen storten als een kaartenhuis, mits enkele leiders worden
geisoleerd”[1]
[seluruh
gerakan Republik itu tak punya arti yang penting… Dengan kita adakan
demonstrasi sedikit kekuatan militer, semua itu akan roboh berantakan seperti
suatu “rumah-kartu” jika juga sekaligus beberapa gelintir orang pemimpin dapat
kita tangkap.”]
Beberapa saat kemudian, tentara Sekutu lengkap
dengan badan intel kolonial [Nefis]
mendarat di Surabaya. Lalu di bulan Oktober itu, 140.000 rakyat dari
kampung-kampung Kota Surabaya sudah berada di lapangan, lengkap dengan senjata
rampasan dari Jepang. Revolusi Surabaya adalah pelaksanaan dari revolusi yang
sebetulnya diinginkan rakyat Jakarta untuk bisa terjadi pada tanggal 19
September 1945. Tapi gerakan massal rakyat yang diharapkan dari Lapangan Ikada
itu tidak bisa pernah terjadi. Berbeda dengan Kota Surabaya, ketika maklumat diganti dengan senjata dan mesiu.
Untuk kemudian pada tanggal 9 November
1945 persis pukul 18.48, maklumat rakyat pun berkumandang: “Merdeka..!! atau mati..!!”. Rakyat
meletakkan garis perang. Sementara para pemimpin Republik di Jakarta sibuk
ber”politik”. Sedemikian tegang dan sibuknya para pemimpin itu berpolitik,
sehingga membuka peluang untuk munculnya mitologi TNI sebagai “Negara dalam
Negara”, yang berkembang selama Orde Baru menjadi Doktrin Dwi Fungsi ABRI.2
Buku Hario Kecik yang berada di tangan anda ini
adalah rangkuman dari tiga buah buku “Memoar”, tujuh kitab “Pemikiran Militer” dan sejumlah novel.
Hal yang hendak disampaikan juga mudah untuk dimengerti dan sukar untuk
dijalani, “Merdeka atau Mati”.
Jenderal
Oerip Soemohardjo, Letkol Zulkifli Lubis dan Mayor Soehario K. Padmodiwirio adalah troika
di awal republik tersebut. Mereka menjaga dengan cermat apa yang disebut oleh
van Straten “republikbeweging” itu.
Mereka adalah garis amat tipis di tengah hiruk-pikuk politik yang biasanya tak
tertangkap oleh para pelancong yang menuliskan sejarah, baik asing (Kahin,
Anderson, McVey, apa lagi Poeze, dll) atau pribumi (seperti biografi Djoeir Mohamad atau Soemarsono.)
Kitab-kitab yang ditulis Hario Kecik tidak mudah
masuk dalam benak para pelancong, yang meletakkan tradisi ilmu politik yang
bermuara pada “aliran dan golongan” yang berlanjut sampai hari ini dan semua
orang bisa merasakan betapa hancurnya gerak-Republik itu
sekarang. Politik dan Republik sekarang ini adalah pengulangan tak pernah henti
dari kegiatan yang oleh orang Belanda disebut sebagai “dwaalsporen”
[jalan sesat].
Para penggiat “jalan sesat” itu -dan ini yang
paling menyakitkan- adalah justru mereka yang disebut dalam bahasa Inggris
sebagai “the founding fathers” (sebut
saja Soekarno, Hatta, Sjahrir, atau Tan Malaka ). Dan masalahnya juga tidak
rumit: dominasi didikan KNIL dan PETA atas 140 ribu orang bersenjata yang
bertempur di Surabaya serta sekian banyak laskar yang lain, utamanya di Jawa
Barat (seperti Karto Suwiryo). Sedemikian dahsyat nafsu politik kaum pergerakan
itu, lalu seperti disebut van Straten, mereka ter”asing”kan dari rakyat,
sehingga muncul aneka macam dikotomi di antara kita, kiri/kanan,
komunis/sosialis, atheis/agamis, sipil/militer dan yang paling terkenal
“Soekarno atau Muso”. KNIL/PETA di pihak militer, dan Indologi di pihak sipil,
sehingga Republik adalah sebuah Negara di mana rakyatnya mangkir. Laskar
dianggap tak ada, dan badan intelijen meneruskan tradisi PID-nya Belanda atau Kenpetai
Jepang.
Untuk tak meneruskan kisah “tentara” yang
menghadapkan moncong senjatanya ke dalam negeri, maka kitab ini bercerita
mengenai kekuatan militer yang moncong meriamnya menghadap keluar, atau
“Merdeka atau Mati”, dan dibentuklah sebuah “Counter
intelligence” [CI].
“Membaca” kitab ini tak akan menimbulkan kesulitan
apapun, tapi untuk “mengerti”nya haruslah disadari bahwa Hario tidak sedang
menulis kisah “power politics”,
seperti dikenali dalam tradisi akademik yang usang, tapi dia menuliskan apa
yang disebut “micro politics” yang
tak lain adalah “politics of affect”.
Karena itu kajian intelijen menjadi kisah “interlele”, penuh ketawa dan
maki-makian gaya “arek”. Kelucuan yang tertebar di seluruh kitab yang ditulis
ini dalam bahasa gawat disebut “unbearable
lightness of being”, atau “yang tanpa wajah dan tanpa nama”. Itulah interlele!
Interlele adalah garis militer dari politik kerakyatan [dan
bukan aliran atau golongan, dan garis sesat dwaalsporen
ketika intelejen menjadi alat untuk me”litsus” rakyat dan membasmi para
mahasiswa, buruh atau petani, seperti puncaknya dapat diingat pada “Operasi
Mawar” pada saat akhir kekuasaan Orba].
Bacalah buku ini dengan hati terbuka dan otak
yang jeli, karena Hario sudah keluar dari dunia Newton/Darwin dan memasuki dunia lain yang disebutnya sebagai “dialektik”, yang hari-hari ini digeluti
oleh para ahli ilmu hayat molekuler dan para astronom dengan teori “string”,
yang merupakan bacaan harian untuk seorang yang sudah berusia 91 tahun! Pada
waktu saya bertanya kepadanya, mengapa ia membaca tentang teori “Super String”, “Quantum Mechanics” dan lain-lain teori itu, Hario Kecik dengan
rendah hati menjawab bahwa, “yang penting untuk dirinya adalah: ingin mendalami
caranya berpikir para Physicists modern itu, sehingga mereka
mampu untuk menemukan dan menyusun teori-teori modern fisika itu. Dan supaya
saya tidak sembrono atau ceroboh menarik kesimpulan dari suatu problem yang
rumit yang saya dapat jumpai secara praktis ”.
“Old
soldier never dies”, begitu
kata orang. Tetapi yang lebih penting adalah memahami seluruh pernak-pernik jalan sesat, dan kembali ke semangat
revolusi [Agustus] Jakarta dan [November] Surabaya. Itulah Dwi-Tunggal Sejarah,
karena tak cukup dengan Soekarno/Hatta. Bukan orang dan tokoh, tetapi proses
dialektik sejarah.
Proses itu masih saja berjalan sampai hari ini, dan
kitab ini memanggil jiwa untuk memilih antara rakyat dan penguasa. Antara “power politics” dan “politics of affect”. Interlele adalah golongan sejumput kecil
arek yang tak bernama dan berwajah, untuk menegakkan kedaulatan dan
kemerdekaan bangsa. Mereka tak minta bayaran atau bintang jasa. Mereka
mengingatkan yang sesat adalah sesat, dan yang setia pada Republik adalah
mereka yang bersumpah “merdeka atau mati” di suatu senja tanggal 9 November
tahun 1945.
Sebuah sejarah yang pathetic dan tidak heroik.
Karena itu dapat disebut sebagai Sejarah yang
indah, Revolusi yang indah dan Nalar yang indah. Seperti Insinyur Soekarno,
sebagai seorang individu mengucapkan pidato di Landraad, Bandung, bulan Agustus 1930 dengan tema “Indonesia Menggugat”,
maka 15 tahun kemudian, Hario Kecik, selaku sebuah singularitas
di antara ratusan ribu gerilyawan Surabaya, mengucapkan bantahan terhadap vonis
van Straten, bukan dengan kata “Merdeka atau Mati” saja, tetapi dengan dentuman
meriam, mitraliyur,
granat, dan aneka macam bahan peledak lainnya yang membuat Indonesia tak pernah
mati meski para pemimpin politiknya sudah menyerah dan takluk pada kekuatan
asing.
II
Jika meletakkan peristiwa revolusi Surabaya dan
kelanjutannya berupa pembentukan dinas counter-intelijen
alias “interlele” di tengah seluruh hiruk-pikuk partai dan pembentukan tentara
resmi Republik, maka segera tampil amat jelas -sekarang ini- betapa kelahiran
NKRI sesungguhnya adalah sebuah kelahiran yang penuh kekerasan [die Gewalt dan tak sekedar der Macht dalam bahasa Jerman]. Dan
tragedi Republik terjadi karena para elite terdidik Belanda sejenis Hatta,
Sjahrir sampai Tan Malaka dan Amir Sjarifuddin serta bekas tentara kolonial
seperti T.B.Simatupang tak sepenuhnya sadar bahwa mereka adalah 100% produk
kolonial dengan dilema Gewalt/Macht
seperti itu. “Gewalt” artiya kekerasan, kewenangan, penguasaan yang
merupakan ranah “Negara”, sedangkan “Macht” adalah kekuasaan yang tak
lain adalah ranah pemerintah. Dalam bahasa Eropa yang lain, seperti Prancis, Gewalt adalah ranah le politique [“the political” dalam bahasa Inggris] dan “Macht”
adalah la politique yang tak lain
adalah ranah pemerintahan, the politics.
Kelambu tebal yang memisahkan mereka yang terdidik
dalam sistem pendidikan sipil maupun militer kolonial adalah sumber malapetaka
yang meledak di Madiun tahun 1948 dan seluruh akibatnya masih tetap terbawa
sampai dengan hari ini [tahun 2012]. Masalah seperti itu tak sekedar soal
“rivalisme” yang tak lain adalah soal ambisi “wille zur Macht” [nafsu berkuasa], tetapi jauh lebih mendalam dari
sekedar gejala jiwa. Hal semacam itu adalah sebuah penyakit struktural yang
amat sangat sulit untuk disembuhkan dan sesungguhnya tak lain adalah bentuk
“Kristal” dari rasa rendah diri seorang inlander!
Sementara gelora revolusi arek adalah
sebuah ledakan dari rasa sakit tertindas yang meluap dan ketika pada titik
tertentu menemukan puncak kemenangan dalam medan pertempuran -inilah soal die Gewalt-, maka perang adalah satu-satunya hubungan dengan bekas
tuan penjajah. Masalah Negara adalah soal kedaulatan dan etos baru orang “mardika..!”
Pada titik
itu menjadi mudah untuk dimengerti mengapa CI untuk pejuang arek adalah soal kelanjutan revolusi,
tapi untuk para ambtenaar politik
yang baru -sipil atau militer- dinas intelijen adalah sekedar salah satu wadah
untuk duduk berkuasa, dan CI arek
cukup dibiayai dengan “candu” alias barang haram.
III
Hal-hal semacam itu dirasakan perlu untuk
disampaikan, karena sejarah revolusi yang dilaporkan oleh para wartawan waktu
itu -seperti Kahin-, atau para turunannya sampai hari ini, selalu saja
meletakkan masalah revolusi itu sebagai awal dari sebuah “red drive proposal” alias awal Perang Dingin. Padahal masalah lapangan adalah para ambtenaar
[kerani] sudah menyerah pada awal revolusi di Gedung Agung, Yogyakarta,
sedangkan kesatuan arek siap memasuki
sebuah perang gerilya, “a long protracted
warfare”.
Jarak antara revolusi kerakyatan dan revolusi gedongan [yang dipetik dari kitab-kitab
di negeri Belanda] adalah amat sangat lebar. Jarak antara Le politique dan la politique
[pemerintah dan Negara] amatlah jauh. Sehingga dalam keadaan yang demikian
memilukan pada awal Republik kita boleh bertanya: hal semacam itu semata soal
kebodohon? Soal sekedar “Wille zur Macht”?
Atau soal oportunisme saja? Atau soal salah komunikasi seperti orang jaman
sekarang suka bicara?
Apapun jawab yang akan diberikan, dapat disampaikan
bahwa masalah seperti itu bukan dan tidak pernah semata masalah kejiwaan, tetapi
amat jauh tertanam dalam tubuh, dalam sikap, dalam selera, dalam pikiran, dalam
perasaan dan dalam memilih mana yang buruk dan mana yang baik. Pendek kata soal
semacam itu adalah soal kemestian sejarah yang tampaknya sampai hari ini hal
semacam itu belum dapat dirampungkan. Dan paparan mengenai CI alias “interlele”
ini berfungsi untuk membuka mata bahwa kemestian sejarah bukanlah nasib. CI
memang mati sebagai doktrin bernegara. Tetapi kematian itu bukan nasib, tetapi
adalah sesuatu yang digerakkan oleh “pemerintah” [la politique]. Negara dimatikan oleh pemerintah. Dan pada titik
semacam itu perlawanan harus dilanjutkan.
Pada pengertian ruang-jeda bahwa sejarah [die Gesichte] bukanlah nasib [der
Schicksal] itulah perlawanan itu diletakkan, dan itulah makna mendalam
seruan arek untuk berdiri pada tebing
eksistensial yang ditandai dengan garis merah
either/or “merdeka atau
mati”3.
Oleh karenanya ketika pada tanggal 17 Oktober 1952
-artinya tujuh tahun setelah proklamasi- seluruh moncong meriam TNI diarahkan
ke Istana Merdeka, dan bukan ke arah barisan musuh nun-jauh di luar tapal batas
Negara, segera Anda bisa mengajukan pertanyaan siapakah musuh Negara di awal Republik? Dan sebaliknya dengan yang
terjadi di Indonesia, di sebuah negeri lain, yakni di Cina, pada 25 April 1945
-juga tujuh tahun setelah revolusi mereka melawan Jepang- Jendral Chu Teh mengatakan semacam ini :
“In this struggle we have not only forged a
great powerful political line which can solve China’s political problems, but
also great, powerful military line which can solve the problem of China’s
revolutionary war”.4
Garis [line]
politik dan militer bertaut erat, dan hanya dalam pertautan seperti itulah
revolusi akan berjalan. Hal yang sama terjadi sekali lagi di Vietnam, baik pada
waktu perang kemerdekaan ataupun pada waktu perang ofensif mereka mengusir
penjajah Prancis-Amerika dari bentuk Dien-Bien-Phu tahun 1954. Jendral
Giap, setelah menguraikan strategi gerilya dalam serangan ofensif itu
menambahkan keterangan seperti ini :
“The
correct, clear sighted and bold strategy enabled us to deprive the enemy of all
possibilities of retrieving the
initiative, and to create favorably conditions for us to fight a decisive battle
on the battlefield chosen and prepared for by us”.5
Giap mengatakan inisiatif di pihak kita, kartu kita
yang menentukan, dan Chu Teh
menggariskan satu-tunggalnya garis militer dan politik. Ketika dua hal itu
ditemui, maka revolusi berhasil, Tetapi ketika dua hal itu mangkir, revolusi
hanya rakus memakan warganya sendiri, seperti di Indonesia. Dan keadaan yang
menyesakkan itu terus berlanjut sampai hari ini.
Dapatlah pada akhirnya dikatakan bahwa republik
kita ini memang sudah cacat dari lahir, sehingga kita yang lahir kemudian harus
menanggung cacat bawaan tersebut.
Yogyakarta, 16 April 2012
_____________________________________
1. 1.
P.M.H Groen, Masroute
En Dwaalsporen, SDU Uitgeverij, ‘s-Gravenhage, 1991, hlm.17
2. Kemungkinan mitologi yang lain terletak pada pemikiran bahwa “massa
raksasa rakyat Surabaya” yang bersenjata itu bisa menjadi suatu “Negara dalam Negara”. Mitologi itu
dibentuk dalam otaknya kaum intelektual yang merupakan hasil dari perguruan
tinggi di Nederland yang dapat
mempunyai kedudukan dalam kabinet pertama pemerintah RI di Jakarta. Pemikiran
itu dikeluarkan dalam bentuk dekrit 5 Oktober 1945 tentang mulai adanya TKR
(Tentara Keamanan Rakyat). Timbulnya nama itu karena para pemimpin di
pemerintah pusat di Jakarta mempunyai pengertian yang salah tentang terbentuknya massa raksasa rakyat kota
Surabaya itu. Mereka kira bahwa massa raksasa rakyat bersenjata itu adalah
hasil dari bekerja Badan Keamanan Rakyat [BKR] yang secara resni dibentuk oleh
pemerintah pusat di Jakarta. Karena itu nama TKR diberikan mereka kepada massa
rakyat yang bersenjata itu. Sebenarnya kenyataannya adalah bahwa gerakan massal
untuk merebut senjata senjata dari tentara Jepang itu datangnya secara spontan
dari jiwa pemuda seluruh kampung-kampung di Kota Surabaya yang dibikin marah dan dipicu oleh kelompok
Indo-Belanda yang menaikkan bendera
Kerajaan Belanda pada 19 September
1945 di Jl.Tunjungan yang terletak dikelilingi oleh kampung-kampung rakyat
Kota Surabaya yang sangat luas. Organisasi BKR dalam masalah ini hanya
berfungsi pada saat itu sebagai penonton dan seterusnya dalam gerakan
perebutan senjata secara massal itu
berfungsi hanya sebagai penonton. Tidak mempunyai fungsi organisatoris. Hal itu
telah ditulis oleh Hario Kecik dalam otobiografinya “Memoar Hario Kecik ke-1” tahun 1995.
3. akar kata der Schicksal adalah “schicken”,
artinya: mengirim. Maka sejarah (die
Gesichte) adalah “kiriman dari masa silam”. Sedangkan der Schicksal [nasib] adalah “yang
terkirimkan” itu. Jadi “nasib” dalam pembedaan dengan “sejarah” tidak dalam
arti destiny/fate, tapi justru
merupakan kesempatan/ruang-jeda untuk menemukan kebebasan yang tak lain adalah
perlawanan atau bahkan revolusi.
Atau menurut Alain Badiou, ruang-jeda itu disebut evenement atau sekali lagi dengan istilah dari Eropa melalui orang
Itali bernama Toni Negri, hal yang sama itu disebut “khairos” [dan bukan “chronos”], dan artinya adalah “saat kebenaran
itu membuka diri”.....
4. [Chu Teh, “The Battlefronts of the Liberated Areas”, Peking, 1952, hlm.90]
5. [Vo Nguyen Giap,
”Dien Bien Phu”, Hanoi, 1962, hlm.23]
*Pengantar buku INTELIJEN
karya Hario Kecik. Penerbit Abhiseka Dipantara, 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar