Rabu, 05 November 2014

SEJARAH INTELIJEN, SEJARAH AWAL REPUBLIK* oleh Dr. Emmanuel Subangun



Tanggal 17 Agustus 1945, Dwi-Tunggal memaklumatkan kemerdekaan bangsa. Tapi lima minggu kemudian, terhadap Negara merdeka itu, Mayor Jenderal NLW van Straten, seorang komandan tentara Belanda [KNIL] membuat maklumat yang berbunyi seperti ini:
“de geheele Republiekbeweging heeft niet veel om het lijf…. Bij eenig machtsvertoon zal ....de zaak ineen storten als een kaartenhuis, mits enkele leiders worden geisoleerd”[1]
[seluruh gerakan Republik itu tak punya arti yang penting… Dengan kita adakan demonstrasi sedikit kekuatan militer, semua itu akan roboh berantakan seperti suatu “rumah-kartu” jika juga sekaligus beberapa gelintir orang pemimpin dapat kita tangkap.”]
Beberapa saat kemudian, tentara Sekutu lengkap dengan badan intel kolonial [Nefis] mendarat di Surabaya. Lalu di bulan Oktober itu, 140.000 rakyat dari kampung-kampung Kota Surabaya sudah berada di lapangan, lengkap dengan senjata rampasan dari Jepang. Revolusi Surabaya adalah pelaksanaan dari revolusi yang sebetulnya diinginkan rakyat Jakarta untuk bisa terjadi pada tanggal 19 September 1945. Tapi gerakan massal rakyat yang diharapkan dari Lapangan Ikada itu tidak bisa pernah terjadi. Berbeda dengan Kota Surabaya, ketika  maklumat diganti dengan senjata dan mesiu. Untuk kemudian pada tanggal 9 November 1945 persis pukul 18.48, maklumat rakyat pun berkumandang: “Merdeka..!! atau mati..!!”. Rakyat meletakkan garis perang. Sementara para pemimpin Republik di Jakarta sibuk ber”politik”. Sedemikian tegang dan sibuknya para pemimpin itu berpolitik, sehingga membuka peluang untuk munculnya mitologi TNI sebagai “Negara dalam Negara”, yang berkembang selama Orde Baru menjadi Doktrin Dwi Fungsi ABRI.2
Buku Hario Kecik yang berada di tangan anda ini adalah rangkuman dari tiga buah buku “Memoar”, tujuh kitab “Pemikiran Militer” dan sejumlah novel. Hal yang hendak disampaikan juga mudah untuk dimengerti dan sukar untuk dijalani, “Merdeka atau Mati”.
Jenderal Oerip Soemohardjo, Letkol Zulkifli Lubis dan Mayor Soehario K. Padmodiwirio adalah troika di awal republik tersebut. Mereka menjaga dengan cermat apa yang disebut oleh van Straten “republikbeweging” itu. Mereka adalah garis amat tipis di tengah hiruk-pikuk politik yang biasanya tak tertangkap oleh para pelancong yang menuliskan sejarah, baik asing (Kahin, Anderson, McVey, apa lagi Poeze, dll) atau pribumi (seperti biografi  Djoeir Mohamad atau Soemarsono.)
Kitab-kitab yang ditulis Hario Kecik tidak mudah masuk dalam benak para pelancong, yang meletakkan tradisi ilmu politik yang bermuara pada “aliran dan golongan” yang berlanjut sampai hari ini dan semua orang bisa merasakan betapa hancurnya gerak-Republik itu sekarang. Politik dan Republik sekarang ini adalah pengulangan tak pernah henti dari kegiatan yang oleh orang Belanda disebut sebagai  “dwaalsporen” [jalan sesat].
Para penggiat “jalan sesat” itu -dan ini yang paling menyakitkan- adalah justru mereka yang disebut dalam bahasa Inggris sebagai “the founding fathers” (sebut saja Soekarno, Hatta, Sjahrir, atau Tan Malaka ). Dan masalahnya juga tidak rumit: dominasi  didikan KNIL  dan PETA atas 140 ribu orang bersenjata yang bertempur di Surabaya serta sekian banyak laskar yang lain, utamanya di Jawa Barat (seperti Karto Suwiryo). Sedemikian dahsyat nafsu politik kaum pergerakan itu, lalu seperti disebut van Straten, mereka ter”asing”kan dari rakyat, sehingga muncul aneka macam dikotomi di antara kita, kiri/kanan, komunis/sosialis, atheis/agamis, sipil/militer dan yang paling terkenal “Soekarno atau Muso”. KNIL/PETA di pihak militer, dan Indologi di pihak sipil, sehingga Republik adalah sebuah Negara di mana rakyatnya mangkir. Laskar dianggap tak ada, dan badan intelijen meneruskan tradisi PID-nya Belanda atau Kenpetai Jepang.
Untuk tak meneruskan kisah “tentara” yang menghadapkan moncong senjatanya ke dalam negeri, maka kitab ini bercerita mengenai kekuatan militer yang moncong meriamnya menghadap keluar, atau “Merdeka atau Mati”, dan dibentuklah sebuah “Counter intelligence” [CI].
“Membaca” kitab ini tak akan menimbulkan kesulitan apapun, tapi untuk “mengerti”nya haruslah disadari bahwa Hario tidak sedang menulis kisah “power politics”, seperti dikenali dalam tradisi akademik yang usang, tapi dia menuliskan apa yang disebut “micro politics” yang tak lain adalah “politics of affect”. Karena itu kajian intelijen menjadi kisah “interlele”, penuh ketawa dan maki-makian gaya “arek”. Kelucuan yang tertebar di seluruh kitab yang ditulis ini dalam bahasa gawat disebut “unbearable lightness of being”, atau “yang tanpa wajah dan tanpa nama”. Itulah interlele!
Interlele adalah garis militer dari politik kerakyatan [dan bukan aliran atau golongan, dan garis sesat dwaalsporen ketika intelejen menjadi alat untuk me”litsus” rakyat dan membasmi para mahasiswa, buruh atau petani, seperti puncaknya dapat diingat pada “Operasi Mawar” pada saat akhir kekuasaan Orba].
Bacalah buku ini dengan hati terbuka dan otak yang jeli, karena Hario sudah keluar dari dunia Newton/Darwin dan memasuki dunia lain yang disebutnya sebagai “dialektik”, yang hari-hari ini digeluti oleh para ahli ilmu hayat molekuler dan para astronom dengan teori “string”, yang merupakan bacaan harian untuk seorang yang sudah berusia 91 tahun! Pada waktu saya bertanya kepadanya, mengapa ia membaca tentang teori “Super String”, “Quantum Mechanics” dan lain-lain teori itu, Hario Kecik dengan rendah hati menjawab bahwa, “yang penting untuk dirinya adalah: ingin mendalami caranya berpikir para Physicists modern itu, sehingga mereka mampu untuk menemukan dan menyusun teori-teori modern fisika itu. Dan supaya saya tidak sembrono atau ceroboh menarik kesimpulan dari suatu problem yang rumit yang saya dapat jumpai secara praktis ”.
“Old soldier never dies”, begitu kata orang. Tetapi yang lebih penting adalah memahami seluruh pernak-pernik jalan sesat, dan kembali ke semangat revolusi [Agustus] Jakarta dan [November] Surabaya. Itulah Dwi-Tunggal Sejarah, karena tak cukup dengan Soekarno/Hatta. Bukan orang dan tokoh, tetapi proses dialektik sejarah.
Proses itu masih saja berjalan sampai hari ini, dan kitab ini memanggil jiwa untuk memilih antara rakyat dan penguasa. Antara “power politics” dan “politics of affect”. Interlele adalah golongan sejumput kecil arek yang tak bernama dan berwajah, untuk menegakkan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa. Mereka tak minta bayaran atau bintang jasa. Mereka mengingatkan yang sesat adalah sesat, dan yang setia pada Republik adalah mereka yang bersumpah “merdeka atau mati” di suatu senja tanggal 9 November tahun 1945.
Sebuah sejarah yang pathetic dan tidak heroik.
Karena itu dapat disebut sebagai Sejarah yang indah, Revolusi yang indah dan Nalar yang indah. Seperti Insinyur Soekarno, sebagai seorang individu mengucapkan pidato di Landraad, Bandung, bulan Agustus 1930 dengan tema “Indonesia Menggugat”, maka 15 tahun kemudian, Hario Kecik, selaku sebuah singularitas di antara ratusan ribu gerilyawan Surabaya, mengucapkan bantahan terhadap vonis van Straten, bukan dengan kata “Merdeka atau Mati” saja, tetapi dengan dentuman meriam, mitraliyur, granat, dan aneka macam bahan peledak lainnya yang membuat Indonesia tak pernah mati meski para pemimpin politiknya sudah menyerah dan takluk pada kekuatan asing.
II
Jika meletakkan peristiwa revolusi Surabaya dan kelanjutannya berupa pembentukan dinas counter-intelijen alias “interlele” di tengah seluruh hiruk-pikuk partai dan pembentukan tentara resmi Republik, maka segera tampil amat jelas -sekarang ini- betapa kelahiran NKRI sesungguhnya adalah sebuah kelahiran yang penuh kekerasan [die Gewalt dan tak sekedar der Macht dalam bahasa Jerman]. Dan tragedi Republik terjadi karena para elite terdidik Belanda sejenis Hatta, Sjahrir sampai Tan Malaka dan Amir Sjarifuddin serta bekas tentara kolonial seperti T.B.Simatupang tak sepenuhnya sadar bahwa mereka adalah 100% produk kolonial dengan dilema Gewalt/Macht seperti itu. “Gewalt” artiya kekerasan, kewenangan, penguasaan yang merupakan ranah “Negara”, sedangkan “Macht” adalah kekuasaan yang tak lain adalah ranah pemerintah. Dalam bahasa Eropa yang lain, seperti Prancis, Gewalt adalah ranah le politique [“the political” dalam bahasa Inggris] dan “Macht” adalah la politique yang tak lain adalah ranah pemerintahan, the politics.
Kelambu tebal yang memisahkan mereka yang terdidik dalam sistem pendidikan sipil maupun militer kolonial adalah sumber malapetaka yang meledak di Madiun tahun 1948 dan seluruh akibatnya masih tetap terbawa sampai dengan hari ini [tahun 2012]. Masalah seperti itu tak sekedar soal “rivalisme” yang tak lain adalah soal ambisi “wille zur Macht” [nafsu berkuasa], tetapi jauh lebih mendalam dari sekedar gejala jiwa. Hal semacam itu adalah sebuah penyakit struktural yang amat sangat sulit untuk disembuhkan dan sesungguhnya tak lain adalah bentuk “Kristal” dari rasa rendah diri seorang inlander! Sementara gelora revolusi arek adalah sebuah ledakan dari rasa sakit tertindas yang meluap dan ketika pada titik tertentu menemukan puncak kemenangan dalam medan pertempuran  -inilah soal die Gewalt-, maka perang adalah satu-satunya hubungan dengan bekas tuan penjajah. Masalah Negara adalah soal kedaulatan dan etos baru orang “mardika..!”
Pada titik  itu menjadi mudah untuk dimengerti mengapa CI untuk pejuang arek adalah soal kelanjutan revolusi, tapi untuk para ambtenaar politik yang baru -sipil atau militer- dinas intelijen adalah sekedar salah satu wadah untuk duduk berkuasa, dan CI arek cukup dibiayai dengan “candu” alias barang haram.
III
Hal-hal semacam itu dirasakan perlu untuk disampaikan, karena sejarah revolusi yang dilaporkan oleh para wartawan waktu itu -seperti Kahin-, atau para turunannya sampai hari ini, selalu saja meletakkan masalah revolusi itu sebagai awal dari sebuah “red drive proposal” alias awal Perang Dingin.  Padahal masalah lapangan adalah para ambtenaar  [kerani] sudah menyerah pada awal revolusi di Gedung Agung, Yogyakarta, sedangkan kesatuan arek siap memasuki sebuah perang gerilya, “a long protracted warfare”. 
Jarak antara revolusi kerakyatan dan revolusi gedongan [yang dipetik dari kitab-kitab di negeri Belanda] adalah amat sangat lebar. Jarak antara Le politique dan la politique [pemerintah dan Negara] amatlah jauh. Sehingga dalam keadaan yang demikian memilukan pada awal Republik kita boleh bertanya: hal semacam itu semata soal kebodohon? Soal sekedar “Wille zur Macht”? Atau soal oportunisme saja? Atau soal salah komunikasi seperti orang jaman sekarang suka bicara?
Apapun jawab yang akan diberikan, dapat disampaikan bahwa masalah seperti itu bukan dan tidak pernah semata masalah kejiwaan, tetapi amat jauh tertanam dalam tubuh, dalam sikap, dalam selera, dalam pikiran, dalam perasaan dan dalam memilih mana yang buruk dan mana yang baik. Pendek kata soal semacam itu adalah soal kemestian sejarah yang tampaknya sampai hari ini hal semacam itu belum dapat dirampungkan. Dan paparan mengenai CI alias “interlele” ini berfungsi untuk membuka mata bahwa kemestian sejarah bukanlah nasib. CI memang mati sebagai doktrin bernegara. Tetapi kematian itu bukan nasib, tetapi adalah sesuatu yang digerakkan oleh “pemerintah” [la politique]. Negara dimatikan oleh pemerintah. Dan pada titik semacam itu perlawanan harus dilanjutkan.
Pada pengertian ruang-jeda bahwa sejarah [die Gesichte] bukanlah nasib  [der Schicksal] itulah perlawanan itu diletakkan, dan itulah makna mendalam seruan arek untuk berdiri pada tebing eksistensial yang ditandai dengan garis merah  either/or  “merdeka atau mati”3.
­­­
        Oleh karenanya ketika pada tanggal 17 Oktober 1952 -artinya tujuh tahun setelah proklamasi- seluruh moncong meriam TNI diarahkan ke Istana Merdeka, dan bukan ke arah barisan musuh nun-jauh di luar tapal batas Negara, segera Anda bisa mengajukan pertanyaan siapakah musuh Negara di awal Republik? Dan sebaliknya dengan yang terjadi di Indonesia, di sebuah negeri lain, yakni di Cina, pada 25 April 1945 -juga tujuh tahun setelah revolusi mereka melawan Jepang- Jendral Chu Teh mengatakan semacam ini :
“In this struggle we have not only forged a great powerful political line which can solve China’s political problems, but also great, powerful military line which can solve the problem of China’s revolutionary war”.4
Garis [line] politik dan militer bertaut erat, dan hanya dalam pertautan seperti itulah revolusi akan berjalan. Hal yang sama terjadi sekali lagi di Vietnam, baik pada waktu perang kemerdekaan ataupun pada waktu perang ofensif mereka mengusir penjajah Prancis-Amerika dari bentuk Dien-Bien-Phu tahun 1954. Jendral Giap, setelah menguraikan strategi gerilya dalam serangan ofensif itu menambahkan keterangan seperti ini :
“The correct, clear sighted and bold strategy enabled us to deprive the enemy of all possibilities of retrieving  the initiative, and  to create favorably  conditions for us to fight a decisive battle on the battlefield chosen and prepared for by us”.5
Giap mengatakan inisiatif di pihak kita, kartu kita yang menentukan, dan Chu Teh menggariskan satu-tunggalnya garis militer dan politik. Ketika dua hal itu ditemui, maka revolusi berhasil, Tetapi ketika dua hal itu mangkir, revolusi hanya rakus memakan warganya sendiri, seperti di Indonesia. Dan keadaan yang menyesakkan itu terus berlanjut sampai hari ini.
Dapatlah pada akhirnya dikatakan bahwa republik kita ini memang sudah cacat dari lahir, sehingga kita yang lahir kemudian harus menanggung cacat bawaan tersebut.
Yogyakarta, 16 April 2012 
_____________________________________
1.     1.   P.M.H Groen, Masroute En Dwaalsporen, SDU Uitgeverij, ‘s-Gravenhage, 1991, hlm.17

2. Kemungkinan mitologi yang lain terletak pada pemikiran bahwa “massa raksasa rakyat Surabaya” yang bersenjata itu bisa menjadi  suatu “Negara dalam Negara”. Mitologi itu dibentuk dalam otaknya kaum intelektual yang merupakan hasil dari perguruan tinggi di Nederland yang dapat mempunyai kedudukan dalam kabinet pertama pemerintah RI di Jakarta. Pemikiran itu dikeluarkan dalam bentuk dekrit 5 Oktober 1945 tentang mulai adanya TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Timbulnya nama itu karena para pemimpin di pemerintah pusat di Jakarta mempunyai pengertian yang salah tentang terbentuknya massa raksasa rakyat kota Surabaya itu. Mereka kira bahwa massa raksasa rakyat bersenjata itu adalah hasil dari bekerja Badan Keamanan Rakyat [BKR] yang secara resni dibentuk oleh pemerintah pusat di Jakarta. Karena itu nama TKR diberikan mereka kepada massa rakyat yang bersenjata itu. Sebenarnya kenyataannya adalah bahwa gerakan massal untuk merebut senjata senjata dari tentara Jepang itu datangnya secara spontan dari jiwa pemuda seluruh kampung-kampung di Kota Surabaya yang dibikin marah dan dipicu oleh kelompok Indo-Belanda yang menaikkan bendera Kerajaan Belanda pada 19 September 1945 di Jl.Tunjungan yang terletak dikelilingi oleh kampung-kampung rakyat Kota Surabaya yang sangat luas. Organisasi BKR dalam masalah ini hanya berfungsi pada saat itu sebagai penonton dan seterusnya dalam gerakan perebutan  senjata secara massal itu berfungsi hanya sebagai penonton. Tidak mempunyai fungsi organisatoris. Hal itu telah ditulis oleh Hario Kecik dalam otobiografinya “Memoar Hario Kecik ke-1” tahun 1995.

3. akar kata der Schicksal  adalah “schicken”, artinya: mengirim. Maka sejarah (die Gesichte) adalah “kiriman dari masa silam”. Sedangkan der Schicksal [nasib] adalah “yang terkirimkan” itu. Jadi “nasib” dalam pembedaan dengan “sejarah” tidak dalam arti destiny/fate, tapi justru merupakan kesempatan/ruang-jeda untuk menemukan kebebasan yang tak lain adalah perlawanan atau bahkan revolusi. 
Atau menurut Alain Badiou, ruang-jeda itu disebut evenement atau sekali lagi dengan istilah dari Eropa melalui orang Itali bernama Toni Negri, hal yang sama itu disebut “khairos” [dan bukan “chronos”], dan artinya adalah “saat kebenaran itu membuka diri”.....

4. [Chu Teh, “The Battlefronts of the Liberated Areas”, Peking, 1952, hlm.90]

5. [Vo Nguyen Giap, ”Dien Bien Phu”, Hanoi, 1962, hlm.23]

*Pengantar buku INTELIJEN karya Hario Kecik. Penerbit Abhiseka Dipantara, 2012.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar