Rabu, 05 November 2014

Catatan Penyuntingan Buku Pertempuran Surabaya karya Hario Kecik (2012)




1.Tesis utama penyuntingan buku ini adalah untuk menegaskan gambaran keadaan bahwa Pertempuran Surabaya merupakan gerak kolektif massa rakyat bersenjata perkampungan Surabaya yang tidak ditentukan oleh perencanaan dan struktur kepemimpinan apapun. “Tak ada 1 orang pun yang bisa meng-klaim telah memimpin rakyat Surabaya dalam pertempuran itu”, tegas Pak Hario selalu.”Pak Sungkono atau Cak Doel Arnowo misalnya, sebagai tokoh Surabaya yang dihormati semasa itu TIDAK PERNAH di kemudian hari menepuk dada sebagai telah memimpin rakyat dalam Pertempuran Surabaya”, imbuhnya lagi. Bahkan untuk kasus Sungkono lebih jelas lagi ketika di babak kehidupan Republik seusai Perang Kemerdekaan beliau disingkirkan secara halus di lingkungan pucuk pimpinan tentara di Jakarta oleh para bekas KNIL –yang nota bene tak memiliki pengalaman tempur sedahsyat medan laga Surabaya. 

2.Kisah tentang arek-arek kampung Surabaya yang –dalam istilah Pak Hario- bergerak secara nameless dan faceless inilah kunci kekuatan cerita yang dikisahkannya. Cerita Pak Hario menempatkan nama-nama seperti Soemarsono,  Moestopo, atau pemuda Sutomo misalnya TIDAK LEBIH PENTING dari pada arek-arek kampung seperti  Moelyono (yang sepatunya bolong), Oerip (yang ‘diselamatkan’oleh roh leluhurnya), Sukarji (dengan suara petikan gitarnya sebagai arwah), Sujak, Boy Tuwaidan, atau Satrio ‘keriting’, dan Wahab ‘deglok’,serta ribuan pemuda kampung Surabaya, maupun para wanita seperti  Bu Dar’mortir’ atau Bu Uman. Mereka semua ditempatkan sebagai orang biasa dari perkampungan Surabaya  yang tidak menganggap penting entah itu perundingan, tanda pangkat,  atau Bahasa Inggris/londo !
Penggambaran Pak Hario atas suasana penyerbuan Markas Kempei Tai  misalnya menyampaikan dengan jelas suasana itu:
“Hampir semua adalah pemuda kampung. Sehari-hari mereka mungkin bekerja sebagai penjual rokok, pedagang di pasar-pasar, tukang becak, para pelayan toko, tukang loak barang bekas, buruh-buruh pelabuhan, pabrik, bengkel dan para penganggur, yang waktu itu banyak terdapat dalam masyarakat Surabaya. Pakaian mereka jelas mencerminkan kelangkaan bahan pakaian dan kemiskinan yang mendalam pada jaman Jepang.
Hampir semua bertelanjang kaki, kecuali beberapa di antara mereka yang bersepatu sandal karet mentah yang terkenal berbau tidak enak. Tetapi bertentangan dengan pakaian mereka yang compang-camping, mereka semua bersenjatakan karaben, senapan mesin, pistol, pedang, tombak, bambu runcing, granat tangan, pisau belati dan lain-lainnya. Dari sikap tiarap yang melelahkan dan menjemukan, mereka berganti ke sikap yang agak lebih bebas, duduk, jongkok, atau berdiri, tapi dengan senjata tetap di tangan. Pandangan mata yang tajam tetap mengarah ke tempat musuh. Saya tahu bahwa mereka lapar dan haus seperti saya. Tetapi apakah pikiran mereka juga seperti pikiran saya?
Mereka pasti berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, seperti saya dan teman-teman dari BKR. Hubungan antar mereka di dalam masing-masing kelompok tentu lebih erat dari ikatan yang ada dalam kelompok saya. Bukankah tiap kelompok mereka berasal dari satu kampung, yaitu bertetangga sejak masa kanak-kanak. Mereka adalah manusia-manusia yang hidupnya langsung ditentukan oleh pengaruh sistem pemerintahan militer Jepang yang kejam. Mereka sama sekali tidak pernah memperoleh hak-lebih apapun dari para penjajah. Mereka telah merasakan apa akibatnya dijajah, pernah dipukul, ditendang oleh para serdadu Jepang karena soal sepele, seperti tidak memberi hormat kepada seorang prajurit Jepang yang sedang berjaga.
Sekarang mereka merasa bahwa waktu untuk membalas dendam telah tiba. Membalas dendam, membunuh musuh, untuk teman atau keluarga yang terbunuh atau tidak kembali lagi, karena dipaksa menjadi romusha, atau wanita penghibur untuk prajurit balatentara Jepang.
Sebagai mahasiswa, keadaan saya masih jauh lebih baik dari mereka. (…) Kenyataan-kenyataan yang tidak pernah kami pikirkan dan bicarakan dalam ‘rapat-rapat perjuangan’ di asrama Prapatan 10 Jakarta, karena kami memang tidak bisa membayangkan bahwa proses perkembangan perjuangan akan seperti itu. Bagaimanapun mendalamnya pikiran yang kami tuangkan dalam gagasan-gagasan dalam rapat-rapat pada waktu itu ternyata masih mengandung unsur egosentris.

3.Untuk mendukung tesis tersebut kemudian penyunting melakukan pembabakan ulang atas naskah asli yang semula dimuat dalam Memoar Hario Kecik I terbitan tahun 1995. Pertimbangannya sederhana, yakni bahwa Pertempuran Surabaya bukan hanya terjadi sehari saja di tanggal 10 November seperti selama ini biasa diketahui. Ada saling terkait keadaan di sekitar saat Proklamasi Kemerdekaan di bulan Agustus dengan rentetannya selama bulan September dan Oktober,  hingga ke saat simbolis Sumpah Merdeka di Markas Pregolan pada senja hari tanggal 9 November 1945. Dan setelah tanggal 10 November pun kemudian pertempuran sengit masih terjadi hingga 3 minggu berikutnya –jadi sampai tanggal 1 Desember- saat para pejuang kemerdekaan melakukan gerak mundur strategis ke pinggir Surabaya.

4.Pada intinya penggambaran keadaan sekitar Pertempuran Surabaya itu dikisahkan oleh Pak Hario ke dalam beberapa babak seperti :
a.sekitar Proklamasi Kemerdekaan di bulan Agustus 1945,
b.kemudian momen kunci metamorfose mental rakyat Surabaya pada saat perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato dan Rapat Raksasa Tambaksari,
            c.lalu saat perebutan senjata dari tentara Jepang  sejak di Markas Don Bosco dan lain-lain hingga memuncak di markas Kempei Tai.
            d.Dan Pertempuran 3 Hari melawan brigade Inggris pimpinan Jenderal Mallaby di akhir bulan Oktober yang berakhir dengan kemenangan arek-arek Suroboyo, sehingga perlu dilerai oleh Presiden Soekarno.
            e.Baru sampai ke momen simbolis 10 November dengan pertempuran yang menyusul sesudahnya.

           5.Tanpa perlu diucapkan, cara bercerita Hario Kecik dalam petikan memoarnya tentang Pertempuran Surabaya ini telah menjalankan sepenuhnya asas decentering the subject. Dengan kemampuan menuliskan cerita yang ada pada dirinya, Pak Hario masih memerlukan untuk mengumpulkan bahan cerita dari pelaku pertempuran Surabaya lainnya (silahkan lihat dalam pernyataan beliau di awal buku ini). Tidak ada lagi Hario Kecik selaku individu tersendiri. Ia ada dalam lautan  penanda yang saling bergerak menyusun 1 hal : greget merdeka orang Nusantara.
Inilah yang dalam pandangan kami saat menyunting naskah ini membedakan kisah Pak Hario dengan sekian buku lain tentang Pertempuran Surabaya. [1]
Sulit dijumpai dalam buku-buku lain itu tempat terhormat disediakan bagi arek-arek kampung Suroboyo yang tetaplah orang biasa itu tadi. Dengan tidakmendudukkan dirinya sendiri di suatu titik pusat itulah Hario Kecik membawa aneka nuansa arek kampung menjadi seperti berpendar dalam bangunan cerita yang disusunnya.[2]
Bahkan perlu disebutkan bahwa cerita Surabaya dari Hario Kecik telah memberi  imbangan bagi kisah dari dunia fiksi dalam bentuk cerita berjudul “Surabaya 45” karya sastrawan Idrus. Kedua naskah ini sama-sama menempatkan suasana kejiwaan manusia dalam pusaran pertempuran.  Hario Kecik datang dengan bahan dari “dalam” masyarakat arek dengan pengungkapan bahasa memoar dan bahan memori kolektif para pelaku peristiwa , sedangkan  Idrus dari jarak  emosi tertentu mengungkapkannya dalam bahasa alam surealistis. Kedua jenis narasi ini seperti saling melengkapi bangunan cerita tentang  Surabaya. Pada narasi Hario Kecik bahasa dari dunia mimpi dan jagad leluhur muncul di ujung cerita (pada kisah tentang Oerip dan Sukarji di bab penutup). Pada naskah Idrus surealisasi revolusi itu muncul melalui  aneka tekanan batin,kegalauan suasana, dan –bahkan- “narasi kegilaan”…..
Merdeka !

                                                                                                        Pulau Jawa, 28 Oktober 2012
                                                                                                                       Penyunting


[1] Nugroho Notosusanto pada tahun 1982 mengedit buku berjudul “Pertempuran Surabaya”, dengan penceritaan yang misalnya saja menempatkan bekas KNIL seperti Jenderal Mayor Suwardi dari Militer Akademi Yogya sebagai “orang yang lebih tahu pertempuran” ketimbang arek-arek kampung Suroboyo.  Roeslan Abdulgani menyusun buku “Seratus Hari di Surabaya” (terbit pertama kali tahun 1974) tanpa merasa perlu menyebutkan Sumpah Merdeka di Markas Pregolan tanggal 9 November 1945, dan malah memilih bercerita tentang pentingnya menguasai Bahasa Inggris untuk membaca surat Mansergh! Sedini tahun 1952 telah terbit buku kecil berjudul “Sedjarah Hari Pahlawan” karya Osman Raliby yang lebih merupakan cerita kronologis tentang pertempuran Surabaya.  Apalagi pada kasus buku Soemarsono yang berjudul “Revolusi Agustus”, adalah contoh telanjang bagaimana mendudukkan diri pencerita sebagai tokoh yang berada di hierarki lebih tinggi dari ribuan arek Suroboyo yang secara faceless dan nameless sudah menyabung nyawa. Hal senada dengan bangunan narasi tentang yang disebut sebagai Bung Tomo selama ini: menokohkan diri, itu perkaranya! Maka ketika 2 tokoh ini bertemu di 1 teks,yang muncul adalah gejala “menidakkan yang lain”, seperti dapat dijumpai di buku “Revolusi Agustus” (2008),pada bagian Soemarsono menceritakan pemuda Soetomo “jongkok dan minta dikasih hidup” di muka pucuk pimpinan PRI”…..(hlm. 41)  Sementara pada buku Hario Kecik ini baik Soemarsono maupun pemuda Soetomo tetap mendapat porsi sewajarnya, yang tidak lebih dan tidak kurang dari arek Suroboyo lain (ing atase, Hario Kecik tahu persis riwayat kedua orang itu). Selain itu bisa dijumpai naskah ringkas karya Suparto Brata berjudul Petualangan Mayor Sabarudin (terbitan tahun 2011,meski versi online tulisan itu sudah muncul sebelumnya di internet). Naskah itu sendiri berfokus pada sosok Sabarudin, namun di bagian belakang sempat disinggung sekilas oleh penulisnya tentang suatu upaya penulisan buku sejarah di tahun 1987 dari panitia Pelestarian Nilai-nilai Kepahlawanan 10 November 1945. Ketika menemui Pak Haryo tahun lalu saya sempat melihat-lihat foto kopi naskah dengan judul semacam yang dikerjakan oleh panitia tersebut. Tetapi usaha daripihak “resmi” semacam itu mudah ditebak tak akan jauh cara pandang dan alat kerjanya dari yang semacam dikerjakan Nugroho Notosusanto. Usaha yang penuh dengan niat baik namun tanpa diiringi pengetahuan memadai akan keterbatasan alat kerja berupa historiografi a la Indonesia  itu.

[2] Pendaran suasana batin para arek ini amat jauh berbeda dengan narasi dingin membeku tentang pemuda sebagaimana  disampaikan oleh ilmuwan sejarah William H. Frederick. Dalam buku “Pandangan dan Gejolak” –terbit tahun 1989- tentang revolusi di Surabaya orang Amerika itu malah misalnya saja menempatkan pemuda Sutomo di posisi yang lebih penting ketimbang Gubernur Soerjo (hlm 343).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar