1.Tesis utama penyuntingan buku ini
adalah untuk menegaskan gambaran keadaan bahwa Pertempuran Surabaya merupakan gerak kolektif massa rakyat
bersenjata perkampungan Surabaya yang tidak ditentukan oleh perencanaan dan
struktur kepemimpinan apapun. “Tak ada 1 orang pun yang bisa meng-klaim telah memimpin rakyat Surabaya
dalam pertempuran itu”, tegas Pak Hario selalu.”Pak Sungkono atau Cak Doel Arnowo misalnya, sebagai tokoh
Surabaya yang dihormati semasa itu TIDAK PERNAH di kemudian hari menepuk dada
sebagai telah memimpin rakyat dalam Pertempuran Surabaya”, imbuhnya lagi.
Bahkan untuk kasus Sungkono lebih jelas lagi ketika di babak kehidupan Republik
seusai Perang Kemerdekaan beliau disingkirkan secara halus di lingkungan pucuk
pimpinan tentara di Jakarta oleh para bekas KNIL –yang nota bene tak memiliki pengalaman tempur sedahsyat medan laga
Surabaya.
2.Kisah tentang arek-arek
kampung Surabaya yang –dalam istilah Pak Hario- bergerak secara nameless dan faceless inilah kunci kekuatan cerita yang dikisahkannya. Cerita
Pak Hario menempatkan nama-nama seperti Soemarsono, Moestopo, atau pemuda Sutomo misalnya TIDAK
LEBIH PENTING dari pada arek-arek
kampung seperti Moelyono (yang sepatunya
bolong), Oerip (yang ‘diselamatkan’oleh roh leluhurnya), Sukarji (dengan suara
petikan gitarnya sebagai arwah), Sujak, Boy Tuwaidan, atau Satrio ‘keriting’,
dan Wahab ‘deglok’,serta ribuan pemuda kampung Surabaya, maupun para wanita
seperti Bu Dar’mortir’ atau Bu Uman.
Mereka semua ditempatkan sebagai orang
biasa dari perkampungan Surabaya yang tidak menganggap penting entah itu
perundingan, tanda pangkat, atau Bahasa
Inggris/londo !
Penggambaran Pak Hario atas suasana
penyerbuan Markas Kempei Tai misalnya
menyampaikan dengan jelas suasana itu:
“Hampir semua adalah
pemuda kampung. Sehari-hari mereka mungkin bekerja sebagai penjual rokok,
pedagang di pasar-pasar, tukang becak, para pelayan toko, tukang loak barang
bekas, buruh-buruh pelabuhan, pabrik, bengkel dan para penganggur, yang waktu
itu banyak terdapat dalam masyarakat Surabaya. Pakaian mereka jelas
mencerminkan kelangkaan bahan pakaian dan kemiskinan yang mendalam pada jaman
Jepang.
Hampir semua
bertelanjang kaki,
kecuali beberapa di antara mereka yang bersepatu sandal karet mentah yang
terkenal berbau tidak enak. Tetapi bertentangan dengan pakaian mereka yang
compang-camping, mereka semua bersenjatakan karaben, senapan mesin, pistol,
pedang, tombak, bambu runcing, granat tangan, pisau belati dan lain-lainnya.
Dari sikap tiarap yang melelahkan dan menjemukan, mereka berganti ke sikap yang
agak lebih bebas, duduk, jongkok, atau berdiri, tapi dengan senjata tetap di tangan.
Pandangan mata yang tajam tetap mengarah ke tempat musuh. Saya tahu bahwa
mereka lapar dan haus seperti saya. Tetapi apakah pikiran mereka juga seperti
pikiran saya?
Mereka pasti
berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, seperti saya dan teman-teman dari BKR.
Hubungan antar mereka di dalam masing-masing kelompok tentu lebih erat dari
ikatan yang ada dalam kelompok saya. Bukankah tiap kelompok mereka berasal dari
satu kampung, yaitu bertetangga sejak masa kanak-kanak. Mereka adalah
manusia-manusia yang hidupnya langsung ditentukan oleh pengaruh sistem
pemerintahan militer Jepang yang kejam. Mereka sama sekali tidak pernah memperoleh
hak-lebih apapun dari para penjajah. Mereka telah merasakan apa akibatnya
dijajah, pernah dipukul, ditendang oleh para serdadu Jepang karena soal sepele,
seperti tidak memberi hormat kepada seorang prajurit Jepang yang sedang
berjaga.
Sekarang mereka
merasa bahwa waktu untuk membalas dendam telah tiba. Membalas dendam, membunuh
musuh, untuk teman atau keluarga yang terbunuh atau tidak kembali lagi, karena
dipaksa menjadi romusha, atau wanita penghibur untuk prajurit balatentara
Jepang.
Sebagai mahasiswa,
keadaan saya masih jauh lebih baik dari mereka. (…) Kenyataan-kenyataan yang
tidak pernah kami pikirkan dan bicarakan dalam ‘rapat-rapat perjuangan’ di asrama
Prapatan 10 Jakarta, karena kami memang tidak bisa membayangkan bahwa proses
perkembangan perjuangan akan seperti itu. Bagaimanapun mendalamnya pikiran yang
kami tuangkan dalam gagasan-gagasan dalam rapat-rapat pada waktu itu ternyata
masih mengandung unsur egosentris.
3.Untuk mendukung tesis tersebut
kemudian penyunting melakukan pembabakan ulang atas naskah asli yang semula
dimuat dalam Memoar Hario Kecik I terbitan tahun 1995. Pertimbangannya
sederhana, yakni bahwa Pertempuran
Surabaya bukan hanya terjadi sehari saja di tanggal 10 November seperti
selama ini biasa diketahui. Ada saling terkait keadaan di sekitar saat
Proklamasi Kemerdekaan di bulan Agustus dengan rentetannya selama bulan
September dan Oktober, hingga ke saat
simbolis Sumpah Merdeka di Markas Pregolan pada senja hari tanggal 9 November
1945. Dan setelah tanggal 10 November pun kemudian pertempuran sengit masih
terjadi hingga 3 minggu berikutnya
–jadi sampai tanggal 1 Desember- saat para pejuang kemerdekaan melakukan gerak
mundur strategis ke pinggir Surabaya.
4.Pada intinya penggambaran keadaan
sekitar Pertempuran Surabaya itu dikisahkan oleh Pak Hario ke dalam beberapa
babak seperti :
a.sekitar Proklamasi Kemerdekaan di
bulan Agustus 1945,
b.kemudian momen kunci metamorfose
mental rakyat Surabaya pada saat perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato dan
Rapat Raksasa Tambaksari,
c.lalu
saat perebutan senjata dari tentara Jepang
sejak di Markas Don Bosco dan lain-lain hingga memuncak di markas Kempei
Tai.
d.Dan Pertempuran 3 Hari melawan brigade
Inggris pimpinan Jenderal Mallaby di akhir bulan Oktober yang berakhir dengan
kemenangan arek-arek Suroboyo, sehingga perlu dilerai oleh Presiden Soekarno.
e.Baru
sampai ke momen simbolis 10 November dengan pertempuran yang menyusul sesudahnya.
5.Tanpa
perlu diucapkan, cara bercerita Hario Kecik dalam petikan memoarnya tentang
Pertempuran Surabaya ini telah menjalankan sepenuhnya asas decentering the subject.
Dengan kemampuan menuliskan cerita yang ada pada dirinya, Pak Hario masih memerlukan
untuk mengumpulkan bahan cerita dari pelaku pertempuran Surabaya lainnya
(silahkan lihat dalam pernyataan beliau di awal buku ini). Tidak ada lagi Hario
Kecik selaku individu tersendiri. Ia ada dalam lautan penanda yang saling bergerak menyusun 1 hal :
greget merdeka orang Nusantara.
Inilah yang dalam pandangan kami saat menyunting naskah ini
membedakan kisah Pak Hario dengan sekian buku lain tentang Pertempuran
Surabaya. [1]
Sulit dijumpai dalam buku-buku lain
itu tempat terhormat disediakan bagi arek-arek
kampung Suroboyo yang tetaplah orang biasa itu tadi. Dengan
tidakmendudukkan dirinya sendiri di suatu titik pusat itulah Hario Kecik
membawa aneka nuansa arek kampung
menjadi seperti berpendar dalam bangunan cerita yang disusunnya.[2]
Bahkan perlu disebutkan bahwa
cerita Surabaya dari Hario Kecik telah memberi
imbangan bagi kisah dari dunia fiksi dalam bentuk cerita berjudul
“Surabaya 45” karya sastrawan Idrus. Kedua naskah ini sama-sama menempatkan
suasana kejiwaan manusia dalam pusaran pertempuran. Hario Kecik datang dengan bahan dari “dalam”
masyarakat arek dengan pengungkapan
bahasa memoar dan bahan memori kolektif para pelaku peristiwa , sedangkan Idrus dari jarak emosi tertentu mengungkapkannya dalam bahasa
alam surealistis. Kedua jenis narasi ini seperti saling melengkapi bangunan
cerita tentang Surabaya. Pada narasi
Hario Kecik bahasa dari dunia mimpi dan jagad leluhur muncul di ujung cerita
(pada kisah tentang Oerip dan Sukarji di bab penutup). Pada naskah Idrus
surealisasi revolusi itu muncul melalui
aneka tekanan batin,kegalauan suasana, dan –bahkan- “narasi kegilaan”…..
Merdeka !
Pulau Jawa, 28 Oktober 2012
Penyunting
[1] Nugroho
Notosusanto pada tahun 1982 mengedit buku berjudul “Pertempuran Surabaya”,
dengan penceritaan yang misalnya saja menempatkan bekas KNIL seperti Jenderal
Mayor Suwardi dari Militer Akademi
Yogya sebagai “orang yang lebih tahu pertempuran” ketimbang arek-arek kampung Suroboyo. Roeslan Abdulgani menyusun buku “Seratus Hari
di Surabaya” (terbit pertama kali tahun 1974) tanpa merasa perlu menyebutkan
Sumpah Merdeka di Markas Pregolan tanggal 9 November 1945, dan malah memilih
bercerita tentang pentingnya menguasai Bahasa Inggris untuk membaca surat
Mansergh! Sedini tahun 1952 telah terbit buku kecil berjudul “Sedjarah Hari
Pahlawan” karya Osman Raliby yang lebih merupakan cerita kronologis tentang
pertempuran Surabaya. Apalagi pada kasus
buku Soemarsono yang berjudul “Revolusi Agustus”, adalah contoh telanjang
bagaimana mendudukkan diri pencerita sebagai tokoh yang berada di hierarki
lebih tinggi dari ribuan arek Suroboyo
yang secara faceless dan nameless sudah menyabung nyawa. Hal
senada dengan bangunan narasi tentang yang disebut sebagai Bung Tomo selama
ini: menokohkan diri, itu perkaranya! Maka ketika 2 tokoh ini bertemu di 1
teks,yang muncul adalah gejala “menidakkan yang lain”, seperti dapat dijumpai
di buku “Revolusi Agustus” (2008),pada bagian Soemarsono menceritakan pemuda
Soetomo “jongkok dan minta dikasih hidup” di muka pucuk pimpinan PRI”…..(hlm.
41) Sementara pada buku Hario Kecik ini
baik Soemarsono maupun pemuda Soetomo tetap mendapat porsi sewajarnya, yang
tidak lebih dan tidak kurang dari arek
Suroboyo lain (ing atase, Hario
Kecik tahu persis riwayat kedua orang itu). Selain itu bisa dijumpai naskah
ringkas karya Suparto Brata berjudul Petualangan Mayor Sabarudin (terbitan
tahun 2011,meski versi online tulisan itu sudah muncul sebelumnya di internet).
Naskah itu sendiri berfokus pada sosok Sabarudin, namun di bagian belakang
sempat disinggung sekilas oleh penulisnya tentang suatu upaya penulisan buku
sejarah di tahun 1987 dari panitia Pelestarian Nilai-nilai Kepahlawanan 10
November 1945. Ketika menemui Pak Haryo tahun lalu saya sempat melihat-lihat
foto kopi naskah dengan judul semacam yang dikerjakan oleh panitia tersebut.
Tetapi usaha daripihak “resmi” semacam itu mudah ditebak tak akan jauh cara
pandang dan alat kerjanya dari yang semacam dikerjakan Nugroho Notosusanto.
Usaha yang penuh dengan niat baik namun tanpa diiringi pengetahuan memadai akan
keterbatasan alat kerja berupa historiografi a la Indonesia itu.
[2]
Pendaran suasana batin para arek ini
amat jauh berbeda dengan narasi dingin membeku tentang pemuda sebagaimana disampaikan oleh ilmuwan sejarah William H.
Frederick. Dalam buku “Pandangan dan Gejolak” –terbit tahun 1989- tentang
revolusi di Surabaya orang Amerika itu malah misalnya saja menempatkan pemuda
Sutomo di posisi yang lebih penting ketimbang Gubernur Soerjo (hlm 343).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar