Film dokumenter Menjelang Pertempuran November di Surabaya.
https://www.youtube.com/watch?v=ZUiZY7audPY
Senin, 10 November 2014
Rabu, 05 November 2014
Catatan Penyuntingan Buku Pertempuran Surabaya karya Hario Kecik (2012)
1.Tesis utama penyuntingan buku ini
adalah untuk menegaskan gambaran keadaan bahwa Pertempuran Surabaya merupakan gerak kolektif massa rakyat
bersenjata perkampungan Surabaya yang tidak ditentukan oleh perencanaan dan
struktur kepemimpinan apapun. “Tak ada 1 orang pun yang bisa meng-klaim telah memimpin rakyat Surabaya
dalam pertempuran itu”, tegas Pak Hario selalu.”Pak Sungkono atau Cak Doel Arnowo misalnya, sebagai tokoh
Surabaya yang dihormati semasa itu TIDAK PERNAH di kemudian hari menepuk dada
sebagai telah memimpin rakyat dalam Pertempuran Surabaya”, imbuhnya lagi.
Bahkan untuk kasus Sungkono lebih jelas lagi ketika di babak kehidupan Republik
seusai Perang Kemerdekaan beliau disingkirkan secara halus di lingkungan pucuk
pimpinan tentara di Jakarta oleh para bekas KNIL –yang nota bene tak memiliki pengalaman tempur sedahsyat medan laga
Surabaya.
2.Kisah tentang arek-arek
kampung Surabaya yang –dalam istilah Pak Hario- bergerak secara nameless dan faceless inilah kunci kekuatan cerita yang dikisahkannya. Cerita
Pak Hario menempatkan nama-nama seperti Soemarsono, Moestopo, atau pemuda Sutomo misalnya TIDAK
LEBIH PENTING dari pada arek-arek
kampung seperti Moelyono (yang sepatunya
bolong), Oerip (yang ‘diselamatkan’oleh roh leluhurnya), Sukarji (dengan suara
petikan gitarnya sebagai arwah), Sujak, Boy Tuwaidan, atau Satrio ‘keriting’,
dan Wahab ‘deglok’,serta ribuan pemuda kampung Surabaya, maupun para wanita
seperti Bu Dar’mortir’ atau Bu Uman.
Mereka semua ditempatkan sebagai orang
biasa dari perkampungan Surabaya yang tidak menganggap penting entah itu
perundingan, tanda pangkat, atau Bahasa
Inggris/londo !
Penggambaran Pak Hario atas suasana
penyerbuan Markas Kempei Tai misalnya
menyampaikan dengan jelas suasana itu:
“Hampir semua adalah
pemuda kampung. Sehari-hari mereka mungkin bekerja sebagai penjual rokok,
pedagang di pasar-pasar, tukang becak, para pelayan toko, tukang loak barang
bekas, buruh-buruh pelabuhan, pabrik, bengkel dan para penganggur, yang waktu
itu banyak terdapat dalam masyarakat Surabaya. Pakaian mereka jelas
mencerminkan kelangkaan bahan pakaian dan kemiskinan yang mendalam pada jaman
Jepang.
Hampir semua
bertelanjang kaki,
kecuali beberapa di antara mereka yang bersepatu sandal karet mentah yang
terkenal berbau tidak enak. Tetapi bertentangan dengan pakaian mereka yang
compang-camping, mereka semua bersenjatakan karaben, senapan mesin, pistol,
pedang, tombak, bambu runcing, granat tangan, pisau belati dan lain-lainnya.
Dari sikap tiarap yang melelahkan dan menjemukan, mereka berganti ke sikap yang
agak lebih bebas, duduk, jongkok, atau berdiri, tapi dengan senjata tetap di tangan.
Pandangan mata yang tajam tetap mengarah ke tempat musuh. Saya tahu bahwa
mereka lapar dan haus seperti saya. Tetapi apakah pikiran mereka juga seperti
pikiran saya?
Mereka pasti
berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, seperti saya dan teman-teman dari BKR.
Hubungan antar mereka di dalam masing-masing kelompok tentu lebih erat dari
ikatan yang ada dalam kelompok saya. Bukankah tiap kelompok mereka berasal dari
satu kampung, yaitu bertetangga sejak masa kanak-kanak. Mereka adalah
manusia-manusia yang hidupnya langsung ditentukan oleh pengaruh sistem
pemerintahan militer Jepang yang kejam. Mereka sama sekali tidak pernah memperoleh
hak-lebih apapun dari para penjajah. Mereka telah merasakan apa akibatnya
dijajah, pernah dipukul, ditendang oleh para serdadu Jepang karena soal sepele,
seperti tidak memberi hormat kepada seorang prajurit Jepang yang sedang
berjaga.
Sekarang mereka
merasa bahwa waktu untuk membalas dendam telah tiba. Membalas dendam, membunuh
musuh, untuk teman atau keluarga yang terbunuh atau tidak kembali lagi, karena
dipaksa menjadi romusha, atau wanita penghibur untuk prajurit balatentara
Jepang.
Sebagai mahasiswa,
keadaan saya masih jauh lebih baik dari mereka. (…) Kenyataan-kenyataan yang
tidak pernah kami pikirkan dan bicarakan dalam ‘rapat-rapat perjuangan’ di asrama
Prapatan 10 Jakarta, karena kami memang tidak bisa membayangkan bahwa proses
perkembangan perjuangan akan seperti itu. Bagaimanapun mendalamnya pikiran yang
kami tuangkan dalam gagasan-gagasan dalam rapat-rapat pada waktu itu ternyata
masih mengandung unsur egosentris.
3.Untuk mendukung tesis tersebut
kemudian penyunting melakukan pembabakan ulang atas naskah asli yang semula
dimuat dalam Memoar Hario Kecik I terbitan tahun 1995. Pertimbangannya
sederhana, yakni bahwa Pertempuran
Surabaya bukan hanya terjadi sehari saja di tanggal 10 November seperti
selama ini biasa diketahui. Ada saling terkait keadaan di sekitar saat
Proklamasi Kemerdekaan di bulan Agustus dengan rentetannya selama bulan
September dan Oktober, hingga ke saat
simbolis Sumpah Merdeka di Markas Pregolan pada senja hari tanggal 9 November
1945. Dan setelah tanggal 10 November pun kemudian pertempuran sengit masih
terjadi hingga 3 minggu berikutnya
–jadi sampai tanggal 1 Desember- saat para pejuang kemerdekaan melakukan gerak
mundur strategis ke pinggir Surabaya.
4.Pada intinya penggambaran keadaan
sekitar Pertempuran Surabaya itu dikisahkan oleh Pak Hario ke dalam beberapa
babak seperti :
a.sekitar Proklamasi Kemerdekaan di
bulan Agustus 1945,
b.kemudian momen kunci metamorfose
mental rakyat Surabaya pada saat perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato dan
Rapat Raksasa Tambaksari,
c.lalu
saat perebutan senjata dari tentara Jepang
sejak di Markas Don Bosco dan lain-lain hingga memuncak di markas Kempei
Tai.
d.Dan Pertempuran 3 Hari melawan brigade
Inggris pimpinan Jenderal Mallaby di akhir bulan Oktober yang berakhir dengan
kemenangan arek-arek Suroboyo, sehingga perlu dilerai oleh Presiden Soekarno.
e.Baru
sampai ke momen simbolis 10 November dengan pertempuran yang menyusul sesudahnya.
5.Tanpa
perlu diucapkan, cara bercerita Hario Kecik dalam petikan memoarnya tentang
Pertempuran Surabaya ini telah menjalankan sepenuhnya asas decentering the subject.
Dengan kemampuan menuliskan cerita yang ada pada dirinya, Pak Hario masih memerlukan
untuk mengumpulkan bahan cerita dari pelaku pertempuran Surabaya lainnya
(silahkan lihat dalam pernyataan beliau di awal buku ini). Tidak ada lagi Hario
Kecik selaku individu tersendiri. Ia ada dalam lautan penanda yang saling bergerak menyusun 1 hal :
greget merdeka orang Nusantara.
Inilah yang dalam pandangan kami saat menyunting naskah ini
membedakan kisah Pak Hario dengan sekian buku lain tentang Pertempuran
Surabaya. [1]
Sulit dijumpai dalam buku-buku lain
itu tempat terhormat disediakan bagi arek-arek
kampung Suroboyo yang tetaplah orang biasa itu tadi. Dengan
tidakmendudukkan dirinya sendiri di suatu titik pusat itulah Hario Kecik
membawa aneka nuansa arek kampung
menjadi seperti berpendar dalam bangunan cerita yang disusunnya.[2]
Bahkan perlu disebutkan bahwa
cerita Surabaya dari Hario Kecik telah memberi
imbangan bagi kisah dari dunia fiksi dalam bentuk cerita berjudul
“Surabaya 45” karya sastrawan Idrus. Kedua naskah ini sama-sama menempatkan
suasana kejiwaan manusia dalam pusaran pertempuran. Hario Kecik datang dengan bahan dari “dalam”
masyarakat arek dengan pengungkapan
bahasa memoar dan bahan memori kolektif para pelaku peristiwa , sedangkan Idrus dari jarak emosi tertentu mengungkapkannya dalam bahasa
alam surealistis. Kedua jenis narasi ini seperti saling melengkapi bangunan
cerita tentang Surabaya. Pada narasi
Hario Kecik bahasa dari dunia mimpi dan jagad leluhur muncul di ujung cerita
(pada kisah tentang Oerip dan Sukarji di bab penutup). Pada naskah Idrus
surealisasi revolusi itu muncul melalui
aneka tekanan batin,kegalauan suasana, dan –bahkan- “narasi kegilaan”…..
Merdeka !
Pulau Jawa, 28 Oktober 2012
Penyunting
[1] Nugroho
Notosusanto pada tahun 1982 mengedit buku berjudul “Pertempuran Surabaya”,
dengan penceritaan yang misalnya saja menempatkan bekas KNIL seperti Jenderal
Mayor Suwardi dari Militer Akademi
Yogya sebagai “orang yang lebih tahu pertempuran” ketimbang arek-arek kampung Suroboyo. Roeslan Abdulgani menyusun buku “Seratus Hari
di Surabaya” (terbit pertama kali tahun 1974) tanpa merasa perlu menyebutkan
Sumpah Merdeka di Markas Pregolan tanggal 9 November 1945, dan malah memilih
bercerita tentang pentingnya menguasai Bahasa Inggris untuk membaca surat
Mansergh! Sedini tahun 1952 telah terbit buku kecil berjudul “Sedjarah Hari
Pahlawan” karya Osman Raliby yang lebih merupakan cerita kronologis tentang
pertempuran Surabaya. Apalagi pada kasus
buku Soemarsono yang berjudul “Revolusi Agustus”, adalah contoh telanjang
bagaimana mendudukkan diri pencerita sebagai tokoh yang berada di hierarki
lebih tinggi dari ribuan arek Suroboyo
yang secara faceless dan nameless sudah menyabung nyawa. Hal
senada dengan bangunan narasi tentang yang disebut sebagai Bung Tomo selama
ini: menokohkan diri, itu perkaranya! Maka ketika 2 tokoh ini bertemu di 1
teks,yang muncul adalah gejala “menidakkan yang lain”, seperti dapat dijumpai
di buku “Revolusi Agustus” (2008),pada bagian Soemarsono menceritakan pemuda
Soetomo “jongkok dan minta dikasih hidup” di muka pucuk pimpinan PRI”…..(hlm.
41) Sementara pada buku Hario Kecik ini
baik Soemarsono maupun pemuda Soetomo tetap mendapat porsi sewajarnya, yang
tidak lebih dan tidak kurang dari arek
Suroboyo lain (ing atase, Hario
Kecik tahu persis riwayat kedua orang itu). Selain itu bisa dijumpai naskah
ringkas karya Suparto Brata berjudul Petualangan Mayor Sabarudin (terbitan
tahun 2011,meski versi online tulisan itu sudah muncul sebelumnya di internet).
Naskah itu sendiri berfokus pada sosok Sabarudin, namun di bagian belakang
sempat disinggung sekilas oleh penulisnya tentang suatu upaya penulisan buku
sejarah di tahun 1987 dari panitia Pelestarian Nilai-nilai Kepahlawanan 10
November 1945. Ketika menemui Pak Haryo tahun lalu saya sempat melihat-lihat
foto kopi naskah dengan judul semacam yang dikerjakan oleh panitia tersebut.
Tetapi usaha daripihak “resmi” semacam itu mudah ditebak tak akan jauh cara
pandang dan alat kerjanya dari yang semacam dikerjakan Nugroho Notosusanto.
Usaha yang penuh dengan niat baik namun tanpa diiringi pengetahuan memadai akan
keterbatasan alat kerja berupa historiografi a la Indonesia itu.
[2]
Pendaran suasana batin para arek ini
amat jauh berbeda dengan narasi dingin membeku tentang pemuda sebagaimana disampaikan oleh ilmuwan sejarah William H.
Frederick. Dalam buku “Pandangan dan Gejolak” –terbit tahun 1989- tentang
revolusi di Surabaya orang Amerika itu malah misalnya saja menempatkan pemuda
Sutomo di posisi yang lebih penting ketimbang Gubernur Soerjo (hlm 343).
SEJARAH INTELIJEN, SEJARAH AWAL REPUBLIK* oleh Dr. Emmanuel Subangun
Tanggal 17 Agustus 1945, Dwi-Tunggal memaklumatkan
kemerdekaan bangsa. Tapi lima minggu kemudian, terhadap Negara merdeka itu,
Mayor Jenderal NLW van Straten, seorang komandan tentara Belanda [KNIL] membuat
maklumat yang berbunyi seperti ini:
“de
geheele Republiekbeweging heeft niet veel om het lijf…. Bij eenig machtsvertoon
zal ....de zaak ineen storten als een kaartenhuis, mits enkele leiders worden
geisoleerd”[1]
[seluruh
gerakan Republik itu tak punya arti yang penting… Dengan kita adakan
demonstrasi sedikit kekuatan militer, semua itu akan roboh berantakan seperti
suatu “rumah-kartu” jika juga sekaligus beberapa gelintir orang pemimpin dapat
kita tangkap.”]
Beberapa saat kemudian, tentara Sekutu lengkap
dengan badan intel kolonial [Nefis]
mendarat di Surabaya. Lalu di bulan Oktober itu, 140.000 rakyat dari
kampung-kampung Kota Surabaya sudah berada di lapangan, lengkap dengan senjata
rampasan dari Jepang. Revolusi Surabaya adalah pelaksanaan dari revolusi yang
sebetulnya diinginkan rakyat Jakarta untuk bisa terjadi pada tanggal 19
September 1945. Tapi gerakan massal rakyat yang diharapkan dari Lapangan Ikada
itu tidak bisa pernah terjadi. Berbeda dengan Kota Surabaya, ketika maklumat diganti dengan senjata dan mesiu.
Untuk kemudian pada tanggal 9 November
1945 persis pukul 18.48, maklumat rakyat pun berkumandang: “Merdeka..!! atau mati..!!”. Rakyat
meletakkan garis perang. Sementara para pemimpin Republik di Jakarta sibuk
ber”politik”. Sedemikian tegang dan sibuknya para pemimpin itu berpolitik,
sehingga membuka peluang untuk munculnya mitologi TNI sebagai “Negara dalam
Negara”, yang berkembang selama Orde Baru menjadi Doktrin Dwi Fungsi ABRI.2
Buku Hario Kecik yang berada di tangan anda ini
adalah rangkuman dari tiga buah buku “Memoar”, tujuh kitab “Pemikiran Militer” dan sejumlah novel.
Hal yang hendak disampaikan juga mudah untuk dimengerti dan sukar untuk
dijalani, “Merdeka atau Mati”.
Jenderal
Oerip Soemohardjo, Letkol Zulkifli Lubis dan Mayor Soehario K. Padmodiwirio adalah troika
di awal republik tersebut. Mereka menjaga dengan cermat apa yang disebut oleh
van Straten “republikbeweging” itu.
Mereka adalah garis amat tipis di tengah hiruk-pikuk politik yang biasanya tak
tertangkap oleh para pelancong yang menuliskan sejarah, baik asing (Kahin,
Anderson, McVey, apa lagi Poeze, dll) atau pribumi (seperti biografi Djoeir Mohamad atau Soemarsono.)
Kitab-kitab yang ditulis Hario Kecik tidak mudah
masuk dalam benak para pelancong, yang meletakkan tradisi ilmu politik yang
bermuara pada “aliran dan golongan” yang berlanjut sampai hari ini dan semua
orang bisa merasakan betapa hancurnya gerak-Republik itu
sekarang. Politik dan Republik sekarang ini adalah pengulangan tak pernah henti
dari kegiatan yang oleh orang Belanda disebut sebagai “dwaalsporen”
[jalan sesat].
Para penggiat “jalan sesat” itu -dan ini yang
paling menyakitkan- adalah justru mereka yang disebut dalam bahasa Inggris
sebagai “the founding fathers” (sebut
saja Soekarno, Hatta, Sjahrir, atau Tan Malaka ). Dan masalahnya juga tidak
rumit: dominasi didikan KNIL dan PETA atas 140 ribu orang bersenjata yang
bertempur di Surabaya serta sekian banyak laskar yang lain, utamanya di Jawa
Barat (seperti Karto Suwiryo). Sedemikian dahsyat nafsu politik kaum pergerakan
itu, lalu seperti disebut van Straten, mereka ter”asing”kan dari rakyat,
sehingga muncul aneka macam dikotomi di antara kita, kiri/kanan,
komunis/sosialis, atheis/agamis, sipil/militer dan yang paling terkenal
“Soekarno atau Muso”. KNIL/PETA di pihak militer, dan Indologi di pihak sipil,
sehingga Republik adalah sebuah Negara di mana rakyatnya mangkir. Laskar
dianggap tak ada, dan badan intelijen meneruskan tradisi PID-nya Belanda atau Kenpetai
Jepang.
Untuk tak meneruskan kisah “tentara” yang
menghadapkan moncong senjatanya ke dalam negeri, maka kitab ini bercerita
mengenai kekuatan militer yang moncong meriamnya menghadap keluar, atau
“Merdeka atau Mati”, dan dibentuklah sebuah “Counter
intelligence” [CI].
“Membaca” kitab ini tak akan menimbulkan kesulitan
apapun, tapi untuk “mengerti”nya haruslah disadari bahwa Hario tidak sedang
menulis kisah “power politics”,
seperti dikenali dalam tradisi akademik yang usang, tapi dia menuliskan apa
yang disebut “micro politics” yang
tak lain adalah “politics of affect”.
Karena itu kajian intelijen menjadi kisah “interlele”, penuh ketawa dan
maki-makian gaya “arek”. Kelucuan yang tertebar di seluruh kitab yang ditulis
ini dalam bahasa gawat disebut “unbearable
lightness of being”, atau “yang tanpa wajah dan tanpa nama”. Itulah interlele!
Interlele adalah garis militer dari politik kerakyatan [dan
bukan aliran atau golongan, dan garis sesat dwaalsporen
ketika intelejen menjadi alat untuk me”litsus” rakyat dan membasmi para
mahasiswa, buruh atau petani, seperti puncaknya dapat diingat pada “Operasi
Mawar” pada saat akhir kekuasaan Orba].
Bacalah buku ini dengan hati terbuka dan otak
yang jeli, karena Hario sudah keluar dari dunia Newton/Darwin dan memasuki dunia lain yang disebutnya sebagai “dialektik”, yang hari-hari ini digeluti
oleh para ahli ilmu hayat molekuler dan para astronom dengan teori “string”,
yang merupakan bacaan harian untuk seorang yang sudah berusia 91 tahun! Pada
waktu saya bertanya kepadanya, mengapa ia membaca tentang teori “Super String”, “Quantum Mechanics” dan lain-lain teori itu, Hario Kecik dengan
rendah hati menjawab bahwa, “yang penting untuk dirinya adalah: ingin mendalami
caranya berpikir para Physicists modern itu, sehingga mereka
mampu untuk menemukan dan menyusun teori-teori modern fisika itu. Dan supaya
saya tidak sembrono atau ceroboh menarik kesimpulan dari suatu problem yang
rumit yang saya dapat jumpai secara praktis ”.
“Old
soldier never dies”, begitu
kata orang. Tetapi yang lebih penting adalah memahami seluruh pernak-pernik jalan sesat, dan kembali ke semangat
revolusi [Agustus] Jakarta dan [November] Surabaya. Itulah Dwi-Tunggal Sejarah,
karena tak cukup dengan Soekarno/Hatta. Bukan orang dan tokoh, tetapi proses
dialektik sejarah.
Proses itu masih saja berjalan sampai hari ini, dan
kitab ini memanggil jiwa untuk memilih antara rakyat dan penguasa. Antara “power politics” dan “politics of affect”. Interlele adalah golongan sejumput kecil
arek yang tak bernama dan berwajah, untuk menegakkan kedaulatan dan
kemerdekaan bangsa. Mereka tak minta bayaran atau bintang jasa. Mereka
mengingatkan yang sesat adalah sesat, dan yang setia pada Republik adalah
mereka yang bersumpah “merdeka atau mati” di suatu senja tanggal 9 November
tahun 1945.
Sebuah sejarah yang pathetic dan tidak heroik.
Karena itu dapat disebut sebagai Sejarah yang
indah, Revolusi yang indah dan Nalar yang indah. Seperti Insinyur Soekarno,
sebagai seorang individu mengucapkan pidato di Landraad, Bandung, bulan Agustus 1930 dengan tema “Indonesia Menggugat”,
maka 15 tahun kemudian, Hario Kecik, selaku sebuah singularitas
di antara ratusan ribu gerilyawan Surabaya, mengucapkan bantahan terhadap vonis
van Straten, bukan dengan kata “Merdeka atau Mati” saja, tetapi dengan dentuman
meriam, mitraliyur,
granat, dan aneka macam bahan peledak lainnya yang membuat Indonesia tak pernah
mati meski para pemimpin politiknya sudah menyerah dan takluk pada kekuatan
asing.
II
Jika meletakkan peristiwa revolusi Surabaya dan
kelanjutannya berupa pembentukan dinas counter-intelijen
alias “interlele” di tengah seluruh hiruk-pikuk partai dan pembentukan tentara
resmi Republik, maka segera tampil amat jelas -sekarang ini- betapa kelahiran
NKRI sesungguhnya adalah sebuah kelahiran yang penuh kekerasan [die Gewalt dan tak sekedar der Macht dalam bahasa Jerman]. Dan
tragedi Republik terjadi karena para elite terdidik Belanda sejenis Hatta,
Sjahrir sampai Tan Malaka dan Amir Sjarifuddin serta bekas tentara kolonial
seperti T.B.Simatupang tak sepenuhnya sadar bahwa mereka adalah 100% produk
kolonial dengan dilema Gewalt/Macht
seperti itu. “Gewalt” artiya kekerasan, kewenangan, penguasaan yang
merupakan ranah “Negara”, sedangkan “Macht” adalah kekuasaan yang tak
lain adalah ranah pemerintah. Dalam bahasa Eropa yang lain, seperti Prancis, Gewalt adalah ranah le politique [“the political” dalam bahasa Inggris] dan “Macht”
adalah la politique yang tak lain
adalah ranah pemerintahan, the politics.
Kelambu tebal yang memisahkan mereka yang terdidik
dalam sistem pendidikan sipil maupun militer kolonial adalah sumber malapetaka
yang meledak di Madiun tahun 1948 dan seluruh akibatnya masih tetap terbawa
sampai dengan hari ini [tahun 2012]. Masalah seperti itu tak sekedar soal
“rivalisme” yang tak lain adalah soal ambisi “wille zur Macht” [nafsu berkuasa], tetapi jauh lebih mendalam dari
sekedar gejala jiwa. Hal semacam itu adalah sebuah penyakit struktural yang
amat sangat sulit untuk disembuhkan dan sesungguhnya tak lain adalah bentuk
“Kristal” dari rasa rendah diri seorang inlander!
Sementara gelora revolusi arek adalah
sebuah ledakan dari rasa sakit tertindas yang meluap dan ketika pada titik
tertentu menemukan puncak kemenangan dalam medan pertempuran -inilah soal die Gewalt-, maka perang adalah satu-satunya hubungan dengan bekas
tuan penjajah. Masalah Negara adalah soal kedaulatan dan etos baru orang “mardika..!”
Pada titik
itu menjadi mudah untuk dimengerti mengapa CI untuk pejuang arek adalah soal kelanjutan revolusi,
tapi untuk para ambtenaar politik
yang baru -sipil atau militer- dinas intelijen adalah sekedar salah satu wadah
untuk duduk berkuasa, dan CI arek
cukup dibiayai dengan “candu” alias barang haram.
III
Hal-hal semacam itu dirasakan perlu untuk
disampaikan, karena sejarah revolusi yang dilaporkan oleh para wartawan waktu
itu -seperti Kahin-, atau para turunannya sampai hari ini, selalu saja
meletakkan masalah revolusi itu sebagai awal dari sebuah “red drive proposal” alias awal Perang Dingin. Padahal masalah lapangan adalah para ambtenaar
[kerani] sudah menyerah pada awal revolusi di Gedung Agung, Yogyakarta,
sedangkan kesatuan arek siap memasuki
sebuah perang gerilya, “a long protracted
warfare”.
Jarak antara revolusi kerakyatan dan revolusi gedongan [yang dipetik dari kitab-kitab
di negeri Belanda] adalah amat sangat lebar. Jarak antara Le politique dan la politique
[pemerintah dan Negara] amatlah jauh. Sehingga dalam keadaan yang demikian
memilukan pada awal Republik kita boleh bertanya: hal semacam itu semata soal
kebodohon? Soal sekedar “Wille zur Macht”?
Atau soal oportunisme saja? Atau soal salah komunikasi seperti orang jaman
sekarang suka bicara?
Apapun jawab yang akan diberikan, dapat disampaikan
bahwa masalah seperti itu bukan dan tidak pernah semata masalah kejiwaan, tetapi
amat jauh tertanam dalam tubuh, dalam sikap, dalam selera, dalam pikiran, dalam
perasaan dan dalam memilih mana yang buruk dan mana yang baik. Pendek kata soal
semacam itu adalah soal kemestian sejarah yang tampaknya sampai hari ini hal
semacam itu belum dapat dirampungkan. Dan paparan mengenai CI alias “interlele”
ini berfungsi untuk membuka mata bahwa kemestian sejarah bukanlah nasib. CI
memang mati sebagai doktrin bernegara. Tetapi kematian itu bukan nasib, tetapi
adalah sesuatu yang digerakkan oleh “pemerintah” [la politique]. Negara dimatikan oleh pemerintah. Dan pada titik
semacam itu perlawanan harus dilanjutkan.
Pada pengertian ruang-jeda bahwa sejarah [die Gesichte] bukanlah nasib [der
Schicksal] itulah perlawanan itu diletakkan, dan itulah makna mendalam
seruan arek untuk berdiri pada tebing
eksistensial yang ditandai dengan garis merah
either/or “merdeka atau
mati”3.
Oleh karenanya ketika pada tanggal 17 Oktober 1952
-artinya tujuh tahun setelah proklamasi- seluruh moncong meriam TNI diarahkan
ke Istana Merdeka, dan bukan ke arah barisan musuh nun-jauh di luar tapal batas
Negara, segera Anda bisa mengajukan pertanyaan siapakah musuh Negara di awal Republik? Dan sebaliknya dengan yang
terjadi di Indonesia, di sebuah negeri lain, yakni di Cina, pada 25 April 1945
-juga tujuh tahun setelah revolusi mereka melawan Jepang- Jendral Chu Teh mengatakan semacam ini :
“In this struggle we have not only forged a
great powerful political line which can solve China’s political problems, but
also great, powerful military line which can solve the problem of China’s
revolutionary war”.4
Garis [line]
politik dan militer bertaut erat, dan hanya dalam pertautan seperti itulah
revolusi akan berjalan. Hal yang sama terjadi sekali lagi di Vietnam, baik pada
waktu perang kemerdekaan ataupun pada waktu perang ofensif mereka mengusir
penjajah Prancis-Amerika dari bentuk Dien-Bien-Phu tahun 1954. Jendral
Giap, setelah menguraikan strategi gerilya dalam serangan ofensif itu
menambahkan keterangan seperti ini :
“The
correct, clear sighted and bold strategy enabled us to deprive the enemy of all
possibilities of retrieving the
initiative, and to create favorably conditions for us to fight a decisive battle
on the battlefield chosen and prepared for by us”.5
Giap mengatakan inisiatif di pihak kita, kartu kita
yang menentukan, dan Chu Teh
menggariskan satu-tunggalnya garis militer dan politik. Ketika dua hal itu
ditemui, maka revolusi berhasil, Tetapi ketika dua hal itu mangkir, revolusi
hanya rakus memakan warganya sendiri, seperti di Indonesia. Dan keadaan yang
menyesakkan itu terus berlanjut sampai hari ini.
Dapatlah pada akhirnya dikatakan bahwa republik
kita ini memang sudah cacat dari lahir, sehingga kita yang lahir kemudian harus
menanggung cacat bawaan tersebut.
Yogyakarta, 16 April 2012
_____________________________________
1. 1.
P.M.H Groen, Masroute
En Dwaalsporen, SDU Uitgeverij, ‘s-Gravenhage, 1991, hlm.17
2. Kemungkinan mitologi yang lain terletak pada pemikiran bahwa “massa
raksasa rakyat Surabaya” yang bersenjata itu bisa menjadi suatu “Negara dalam Negara”. Mitologi itu
dibentuk dalam otaknya kaum intelektual yang merupakan hasil dari perguruan
tinggi di Nederland yang dapat
mempunyai kedudukan dalam kabinet pertama pemerintah RI di Jakarta. Pemikiran
itu dikeluarkan dalam bentuk dekrit 5 Oktober 1945 tentang mulai adanya TKR
(Tentara Keamanan Rakyat). Timbulnya nama itu karena para pemimpin di
pemerintah pusat di Jakarta mempunyai pengertian yang salah tentang terbentuknya massa raksasa rakyat kota
Surabaya itu. Mereka kira bahwa massa raksasa rakyat bersenjata itu adalah
hasil dari bekerja Badan Keamanan Rakyat [BKR] yang secara resni dibentuk oleh
pemerintah pusat di Jakarta. Karena itu nama TKR diberikan mereka kepada massa
rakyat yang bersenjata itu. Sebenarnya kenyataannya adalah bahwa gerakan massal
untuk merebut senjata senjata dari tentara Jepang itu datangnya secara spontan
dari jiwa pemuda seluruh kampung-kampung di Kota Surabaya yang dibikin marah dan dipicu oleh kelompok
Indo-Belanda yang menaikkan bendera
Kerajaan Belanda pada 19 September
1945 di Jl.Tunjungan yang terletak dikelilingi oleh kampung-kampung rakyat
Kota Surabaya yang sangat luas. Organisasi BKR dalam masalah ini hanya
berfungsi pada saat itu sebagai penonton dan seterusnya dalam gerakan
perebutan senjata secara massal itu
berfungsi hanya sebagai penonton. Tidak mempunyai fungsi organisatoris. Hal itu
telah ditulis oleh Hario Kecik dalam otobiografinya “Memoar Hario Kecik ke-1” tahun 1995.
3. akar kata der Schicksal adalah “schicken”,
artinya: mengirim. Maka sejarah (die
Gesichte) adalah “kiriman dari masa silam”. Sedangkan der Schicksal [nasib] adalah “yang
terkirimkan” itu. Jadi “nasib” dalam pembedaan dengan “sejarah” tidak dalam
arti destiny/fate, tapi justru
merupakan kesempatan/ruang-jeda untuk menemukan kebebasan yang tak lain adalah
perlawanan atau bahkan revolusi.
Atau menurut Alain Badiou, ruang-jeda itu disebut evenement atau sekali lagi dengan istilah dari Eropa melalui orang
Itali bernama Toni Negri, hal yang sama itu disebut “khairos” [dan bukan “chronos”], dan artinya adalah “saat kebenaran
itu membuka diri”.....
4. [Chu Teh, “The Battlefronts of the Liberated Areas”, Peking, 1952, hlm.90]
5. [Vo Nguyen Giap,
”Dien Bien Phu”, Hanoi, 1962, hlm.23]
*Pengantar buku INTELIJEN
karya Hario Kecik. Penerbit Abhiseka Dipantara, 2012.
Langganan:
Postingan (Atom)