Rabu, 05 November 2014

Catatan Penyuntingan Buku Pertempuran Surabaya karya Hario Kecik (2012)




1.Tesis utama penyuntingan buku ini adalah untuk menegaskan gambaran keadaan bahwa Pertempuran Surabaya merupakan gerak kolektif massa rakyat bersenjata perkampungan Surabaya yang tidak ditentukan oleh perencanaan dan struktur kepemimpinan apapun. “Tak ada 1 orang pun yang bisa meng-klaim telah memimpin rakyat Surabaya dalam pertempuran itu”, tegas Pak Hario selalu.”Pak Sungkono atau Cak Doel Arnowo misalnya, sebagai tokoh Surabaya yang dihormati semasa itu TIDAK PERNAH di kemudian hari menepuk dada sebagai telah memimpin rakyat dalam Pertempuran Surabaya”, imbuhnya lagi. Bahkan untuk kasus Sungkono lebih jelas lagi ketika di babak kehidupan Republik seusai Perang Kemerdekaan beliau disingkirkan secara halus di lingkungan pucuk pimpinan tentara di Jakarta oleh para bekas KNIL –yang nota bene tak memiliki pengalaman tempur sedahsyat medan laga Surabaya. 

2.Kisah tentang arek-arek kampung Surabaya yang –dalam istilah Pak Hario- bergerak secara nameless dan faceless inilah kunci kekuatan cerita yang dikisahkannya. Cerita Pak Hario menempatkan nama-nama seperti Soemarsono,  Moestopo, atau pemuda Sutomo misalnya TIDAK LEBIH PENTING dari pada arek-arek kampung seperti  Moelyono (yang sepatunya bolong), Oerip (yang ‘diselamatkan’oleh roh leluhurnya), Sukarji (dengan suara petikan gitarnya sebagai arwah), Sujak, Boy Tuwaidan, atau Satrio ‘keriting’, dan Wahab ‘deglok’,serta ribuan pemuda kampung Surabaya, maupun para wanita seperti  Bu Dar’mortir’ atau Bu Uman. Mereka semua ditempatkan sebagai orang biasa dari perkampungan Surabaya  yang tidak menganggap penting entah itu perundingan, tanda pangkat,  atau Bahasa Inggris/londo !
Penggambaran Pak Hario atas suasana penyerbuan Markas Kempei Tai  misalnya menyampaikan dengan jelas suasana itu:
“Hampir semua adalah pemuda kampung. Sehari-hari mereka mungkin bekerja sebagai penjual rokok, pedagang di pasar-pasar, tukang becak, para pelayan toko, tukang loak barang bekas, buruh-buruh pelabuhan, pabrik, bengkel dan para penganggur, yang waktu itu banyak terdapat dalam masyarakat Surabaya. Pakaian mereka jelas mencerminkan kelangkaan bahan pakaian dan kemiskinan yang mendalam pada jaman Jepang.
Hampir semua bertelanjang kaki, kecuali beberapa di antara mereka yang bersepatu sandal karet mentah yang terkenal berbau tidak enak. Tetapi bertentangan dengan pakaian mereka yang compang-camping, mereka semua bersenjatakan karaben, senapan mesin, pistol, pedang, tombak, bambu runcing, granat tangan, pisau belati dan lain-lainnya. Dari sikap tiarap yang melelahkan dan menjemukan, mereka berganti ke sikap yang agak lebih bebas, duduk, jongkok, atau berdiri, tapi dengan senjata tetap di tangan. Pandangan mata yang tajam tetap mengarah ke tempat musuh. Saya tahu bahwa mereka lapar dan haus seperti saya. Tetapi apakah pikiran mereka juga seperti pikiran saya?
Mereka pasti berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, seperti saya dan teman-teman dari BKR. Hubungan antar mereka di dalam masing-masing kelompok tentu lebih erat dari ikatan yang ada dalam kelompok saya. Bukankah tiap kelompok mereka berasal dari satu kampung, yaitu bertetangga sejak masa kanak-kanak. Mereka adalah manusia-manusia yang hidupnya langsung ditentukan oleh pengaruh sistem pemerintahan militer Jepang yang kejam. Mereka sama sekali tidak pernah memperoleh hak-lebih apapun dari para penjajah. Mereka telah merasakan apa akibatnya dijajah, pernah dipukul, ditendang oleh para serdadu Jepang karena soal sepele, seperti tidak memberi hormat kepada seorang prajurit Jepang yang sedang berjaga.
Sekarang mereka merasa bahwa waktu untuk membalas dendam telah tiba. Membalas dendam, membunuh musuh, untuk teman atau keluarga yang terbunuh atau tidak kembali lagi, karena dipaksa menjadi romusha, atau wanita penghibur untuk prajurit balatentara Jepang.
Sebagai mahasiswa, keadaan saya masih jauh lebih baik dari mereka. (…) Kenyataan-kenyataan yang tidak pernah kami pikirkan dan bicarakan dalam ‘rapat-rapat perjuangan’ di asrama Prapatan 10 Jakarta, karena kami memang tidak bisa membayangkan bahwa proses perkembangan perjuangan akan seperti itu. Bagaimanapun mendalamnya pikiran yang kami tuangkan dalam gagasan-gagasan dalam rapat-rapat pada waktu itu ternyata masih mengandung unsur egosentris.

3.Untuk mendukung tesis tersebut kemudian penyunting melakukan pembabakan ulang atas naskah asli yang semula dimuat dalam Memoar Hario Kecik I terbitan tahun 1995. Pertimbangannya sederhana, yakni bahwa Pertempuran Surabaya bukan hanya terjadi sehari saja di tanggal 10 November seperti selama ini biasa diketahui. Ada saling terkait keadaan di sekitar saat Proklamasi Kemerdekaan di bulan Agustus dengan rentetannya selama bulan September dan Oktober,  hingga ke saat simbolis Sumpah Merdeka di Markas Pregolan pada senja hari tanggal 9 November 1945. Dan setelah tanggal 10 November pun kemudian pertempuran sengit masih terjadi hingga 3 minggu berikutnya –jadi sampai tanggal 1 Desember- saat para pejuang kemerdekaan melakukan gerak mundur strategis ke pinggir Surabaya.

4.Pada intinya penggambaran keadaan sekitar Pertempuran Surabaya itu dikisahkan oleh Pak Hario ke dalam beberapa babak seperti :
a.sekitar Proklamasi Kemerdekaan di bulan Agustus 1945,
b.kemudian momen kunci metamorfose mental rakyat Surabaya pada saat perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato dan Rapat Raksasa Tambaksari,
            c.lalu saat perebutan senjata dari tentara Jepang  sejak di Markas Don Bosco dan lain-lain hingga memuncak di markas Kempei Tai.
            d.Dan Pertempuran 3 Hari melawan brigade Inggris pimpinan Jenderal Mallaby di akhir bulan Oktober yang berakhir dengan kemenangan arek-arek Suroboyo, sehingga perlu dilerai oleh Presiden Soekarno.
            e.Baru sampai ke momen simbolis 10 November dengan pertempuran yang menyusul sesudahnya.

           5.Tanpa perlu diucapkan, cara bercerita Hario Kecik dalam petikan memoarnya tentang Pertempuran Surabaya ini telah menjalankan sepenuhnya asas decentering the subject. Dengan kemampuan menuliskan cerita yang ada pada dirinya, Pak Hario masih memerlukan untuk mengumpulkan bahan cerita dari pelaku pertempuran Surabaya lainnya (silahkan lihat dalam pernyataan beliau di awal buku ini). Tidak ada lagi Hario Kecik selaku individu tersendiri. Ia ada dalam lautan  penanda yang saling bergerak menyusun 1 hal : greget merdeka orang Nusantara.
Inilah yang dalam pandangan kami saat menyunting naskah ini membedakan kisah Pak Hario dengan sekian buku lain tentang Pertempuran Surabaya. [1]
Sulit dijumpai dalam buku-buku lain itu tempat terhormat disediakan bagi arek-arek kampung Suroboyo yang tetaplah orang biasa itu tadi. Dengan tidakmendudukkan dirinya sendiri di suatu titik pusat itulah Hario Kecik membawa aneka nuansa arek kampung menjadi seperti berpendar dalam bangunan cerita yang disusunnya.[2]
Bahkan perlu disebutkan bahwa cerita Surabaya dari Hario Kecik telah memberi  imbangan bagi kisah dari dunia fiksi dalam bentuk cerita berjudul “Surabaya 45” karya sastrawan Idrus. Kedua naskah ini sama-sama menempatkan suasana kejiwaan manusia dalam pusaran pertempuran.  Hario Kecik datang dengan bahan dari “dalam” masyarakat arek dengan pengungkapan bahasa memoar dan bahan memori kolektif para pelaku peristiwa , sedangkan  Idrus dari jarak  emosi tertentu mengungkapkannya dalam bahasa alam surealistis. Kedua jenis narasi ini seperti saling melengkapi bangunan cerita tentang  Surabaya. Pada narasi Hario Kecik bahasa dari dunia mimpi dan jagad leluhur muncul di ujung cerita (pada kisah tentang Oerip dan Sukarji di bab penutup). Pada naskah Idrus surealisasi revolusi itu muncul melalui  aneka tekanan batin,kegalauan suasana, dan –bahkan- “narasi kegilaan”…..
Merdeka !

                                                                                                        Pulau Jawa, 28 Oktober 2012
                                                                                                                       Penyunting


[1] Nugroho Notosusanto pada tahun 1982 mengedit buku berjudul “Pertempuran Surabaya”, dengan penceritaan yang misalnya saja menempatkan bekas KNIL seperti Jenderal Mayor Suwardi dari Militer Akademi Yogya sebagai “orang yang lebih tahu pertempuran” ketimbang arek-arek kampung Suroboyo.  Roeslan Abdulgani menyusun buku “Seratus Hari di Surabaya” (terbit pertama kali tahun 1974) tanpa merasa perlu menyebutkan Sumpah Merdeka di Markas Pregolan tanggal 9 November 1945, dan malah memilih bercerita tentang pentingnya menguasai Bahasa Inggris untuk membaca surat Mansergh! Sedini tahun 1952 telah terbit buku kecil berjudul “Sedjarah Hari Pahlawan” karya Osman Raliby yang lebih merupakan cerita kronologis tentang pertempuran Surabaya.  Apalagi pada kasus buku Soemarsono yang berjudul “Revolusi Agustus”, adalah contoh telanjang bagaimana mendudukkan diri pencerita sebagai tokoh yang berada di hierarki lebih tinggi dari ribuan arek Suroboyo yang secara faceless dan nameless sudah menyabung nyawa. Hal senada dengan bangunan narasi tentang yang disebut sebagai Bung Tomo selama ini: menokohkan diri, itu perkaranya! Maka ketika 2 tokoh ini bertemu di 1 teks,yang muncul adalah gejala “menidakkan yang lain”, seperti dapat dijumpai di buku “Revolusi Agustus” (2008),pada bagian Soemarsono menceritakan pemuda Soetomo “jongkok dan minta dikasih hidup” di muka pucuk pimpinan PRI”…..(hlm. 41)  Sementara pada buku Hario Kecik ini baik Soemarsono maupun pemuda Soetomo tetap mendapat porsi sewajarnya, yang tidak lebih dan tidak kurang dari arek Suroboyo lain (ing atase, Hario Kecik tahu persis riwayat kedua orang itu). Selain itu bisa dijumpai naskah ringkas karya Suparto Brata berjudul Petualangan Mayor Sabarudin (terbitan tahun 2011,meski versi online tulisan itu sudah muncul sebelumnya di internet). Naskah itu sendiri berfokus pada sosok Sabarudin, namun di bagian belakang sempat disinggung sekilas oleh penulisnya tentang suatu upaya penulisan buku sejarah di tahun 1987 dari panitia Pelestarian Nilai-nilai Kepahlawanan 10 November 1945. Ketika menemui Pak Haryo tahun lalu saya sempat melihat-lihat foto kopi naskah dengan judul semacam yang dikerjakan oleh panitia tersebut. Tetapi usaha daripihak “resmi” semacam itu mudah ditebak tak akan jauh cara pandang dan alat kerjanya dari yang semacam dikerjakan Nugroho Notosusanto. Usaha yang penuh dengan niat baik namun tanpa diiringi pengetahuan memadai akan keterbatasan alat kerja berupa historiografi a la Indonesia  itu.

[2] Pendaran suasana batin para arek ini amat jauh berbeda dengan narasi dingin membeku tentang pemuda sebagaimana  disampaikan oleh ilmuwan sejarah William H. Frederick. Dalam buku “Pandangan dan Gejolak” –terbit tahun 1989- tentang revolusi di Surabaya orang Amerika itu malah misalnya saja menempatkan pemuda Sutomo di posisi yang lebih penting ketimbang Gubernur Soerjo (hlm 343).

SEJARAH INTELIJEN, SEJARAH AWAL REPUBLIK* oleh Dr. Emmanuel Subangun



Tanggal 17 Agustus 1945, Dwi-Tunggal memaklumatkan kemerdekaan bangsa. Tapi lima minggu kemudian, terhadap Negara merdeka itu, Mayor Jenderal NLW van Straten, seorang komandan tentara Belanda [KNIL] membuat maklumat yang berbunyi seperti ini:
“de geheele Republiekbeweging heeft niet veel om het lijf…. Bij eenig machtsvertoon zal ....de zaak ineen storten als een kaartenhuis, mits enkele leiders worden geisoleerd”[1]
[seluruh gerakan Republik itu tak punya arti yang penting… Dengan kita adakan demonstrasi sedikit kekuatan militer, semua itu akan roboh berantakan seperti suatu “rumah-kartu” jika juga sekaligus beberapa gelintir orang pemimpin dapat kita tangkap.”]
Beberapa saat kemudian, tentara Sekutu lengkap dengan badan intel kolonial [Nefis] mendarat di Surabaya. Lalu di bulan Oktober itu, 140.000 rakyat dari kampung-kampung Kota Surabaya sudah berada di lapangan, lengkap dengan senjata rampasan dari Jepang. Revolusi Surabaya adalah pelaksanaan dari revolusi yang sebetulnya diinginkan rakyat Jakarta untuk bisa terjadi pada tanggal 19 September 1945. Tapi gerakan massal rakyat yang diharapkan dari Lapangan Ikada itu tidak bisa pernah terjadi. Berbeda dengan Kota Surabaya, ketika  maklumat diganti dengan senjata dan mesiu. Untuk kemudian pada tanggal 9 November 1945 persis pukul 18.48, maklumat rakyat pun berkumandang: “Merdeka..!! atau mati..!!”. Rakyat meletakkan garis perang. Sementara para pemimpin Republik di Jakarta sibuk ber”politik”. Sedemikian tegang dan sibuknya para pemimpin itu berpolitik, sehingga membuka peluang untuk munculnya mitologi TNI sebagai “Negara dalam Negara”, yang berkembang selama Orde Baru menjadi Doktrin Dwi Fungsi ABRI.2
Buku Hario Kecik yang berada di tangan anda ini adalah rangkuman dari tiga buah buku “Memoar”, tujuh kitab “Pemikiran Militer” dan sejumlah novel. Hal yang hendak disampaikan juga mudah untuk dimengerti dan sukar untuk dijalani, “Merdeka atau Mati”.
Jenderal Oerip Soemohardjo, Letkol Zulkifli Lubis dan Mayor Soehario K. Padmodiwirio adalah troika di awal republik tersebut. Mereka menjaga dengan cermat apa yang disebut oleh van Straten “republikbeweging” itu. Mereka adalah garis amat tipis di tengah hiruk-pikuk politik yang biasanya tak tertangkap oleh para pelancong yang menuliskan sejarah, baik asing (Kahin, Anderson, McVey, apa lagi Poeze, dll) atau pribumi (seperti biografi  Djoeir Mohamad atau Soemarsono.)
Kitab-kitab yang ditulis Hario Kecik tidak mudah masuk dalam benak para pelancong, yang meletakkan tradisi ilmu politik yang bermuara pada “aliran dan golongan” yang berlanjut sampai hari ini dan semua orang bisa merasakan betapa hancurnya gerak-Republik itu sekarang. Politik dan Republik sekarang ini adalah pengulangan tak pernah henti dari kegiatan yang oleh orang Belanda disebut sebagai  “dwaalsporen” [jalan sesat].
Para penggiat “jalan sesat” itu -dan ini yang paling menyakitkan- adalah justru mereka yang disebut dalam bahasa Inggris sebagai “the founding fathers” (sebut saja Soekarno, Hatta, Sjahrir, atau Tan Malaka ). Dan masalahnya juga tidak rumit: dominasi  didikan KNIL  dan PETA atas 140 ribu orang bersenjata yang bertempur di Surabaya serta sekian banyak laskar yang lain, utamanya di Jawa Barat (seperti Karto Suwiryo). Sedemikian dahsyat nafsu politik kaum pergerakan itu, lalu seperti disebut van Straten, mereka ter”asing”kan dari rakyat, sehingga muncul aneka macam dikotomi di antara kita, kiri/kanan, komunis/sosialis, atheis/agamis, sipil/militer dan yang paling terkenal “Soekarno atau Muso”. KNIL/PETA di pihak militer, dan Indologi di pihak sipil, sehingga Republik adalah sebuah Negara di mana rakyatnya mangkir. Laskar dianggap tak ada, dan badan intelijen meneruskan tradisi PID-nya Belanda atau Kenpetai Jepang.
Untuk tak meneruskan kisah “tentara” yang menghadapkan moncong senjatanya ke dalam negeri, maka kitab ini bercerita mengenai kekuatan militer yang moncong meriamnya menghadap keluar, atau “Merdeka atau Mati”, dan dibentuklah sebuah “Counter intelligence” [CI].
“Membaca” kitab ini tak akan menimbulkan kesulitan apapun, tapi untuk “mengerti”nya haruslah disadari bahwa Hario tidak sedang menulis kisah “power politics”, seperti dikenali dalam tradisi akademik yang usang, tapi dia menuliskan apa yang disebut “micro politics” yang tak lain adalah “politics of affect”. Karena itu kajian intelijen menjadi kisah “interlele”, penuh ketawa dan maki-makian gaya “arek”. Kelucuan yang tertebar di seluruh kitab yang ditulis ini dalam bahasa gawat disebut “unbearable lightness of being”, atau “yang tanpa wajah dan tanpa nama”. Itulah interlele!
Interlele adalah garis militer dari politik kerakyatan [dan bukan aliran atau golongan, dan garis sesat dwaalsporen ketika intelejen menjadi alat untuk me”litsus” rakyat dan membasmi para mahasiswa, buruh atau petani, seperti puncaknya dapat diingat pada “Operasi Mawar” pada saat akhir kekuasaan Orba].
Bacalah buku ini dengan hati terbuka dan otak yang jeli, karena Hario sudah keluar dari dunia Newton/Darwin dan memasuki dunia lain yang disebutnya sebagai “dialektik”, yang hari-hari ini digeluti oleh para ahli ilmu hayat molekuler dan para astronom dengan teori “string”, yang merupakan bacaan harian untuk seorang yang sudah berusia 91 tahun! Pada waktu saya bertanya kepadanya, mengapa ia membaca tentang teori “Super String”, “Quantum Mechanics” dan lain-lain teori itu, Hario Kecik dengan rendah hati menjawab bahwa, “yang penting untuk dirinya adalah: ingin mendalami caranya berpikir para Physicists modern itu, sehingga mereka mampu untuk menemukan dan menyusun teori-teori modern fisika itu. Dan supaya saya tidak sembrono atau ceroboh menarik kesimpulan dari suatu problem yang rumit yang saya dapat jumpai secara praktis ”.
“Old soldier never dies”, begitu kata orang. Tetapi yang lebih penting adalah memahami seluruh pernak-pernik jalan sesat, dan kembali ke semangat revolusi [Agustus] Jakarta dan [November] Surabaya. Itulah Dwi-Tunggal Sejarah, karena tak cukup dengan Soekarno/Hatta. Bukan orang dan tokoh, tetapi proses dialektik sejarah.
Proses itu masih saja berjalan sampai hari ini, dan kitab ini memanggil jiwa untuk memilih antara rakyat dan penguasa. Antara “power politics” dan “politics of affect”. Interlele adalah golongan sejumput kecil arek yang tak bernama dan berwajah, untuk menegakkan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa. Mereka tak minta bayaran atau bintang jasa. Mereka mengingatkan yang sesat adalah sesat, dan yang setia pada Republik adalah mereka yang bersumpah “merdeka atau mati” di suatu senja tanggal 9 November tahun 1945.
Sebuah sejarah yang pathetic dan tidak heroik.
Karena itu dapat disebut sebagai Sejarah yang indah, Revolusi yang indah dan Nalar yang indah. Seperti Insinyur Soekarno, sebagai seorang individu mengucapkan pidato di Landraad, Bandung, bulan Agustus 1930 dengan tema “Indonesia Menggugat”, maka 15 tahun kemudian, Hario Kecik, selaku sebuah singularitas di antara ratusan ribu gerilyawan Surabaya, mengucapkan bantahan terhadap vonis van Straten, bukan dengan kata “Merdeka atau Mati” saja, tetapi dengan dentuman meriam, mitraliyur, granat, dan aneka macam bahan peledak lainnya yang membuat Indonesia tak pernah mati meski para pemimpin politiknya sudah menyerah dan takluk pada kekuatan asing.
II
Jika meletakkan peristiwa revolusi Surabaya dan kelanjutannya berupa pembentukan dinas counter-intelijen alias “interlele” di tengah seluruh hiruk-pikuk partai dan pembentukan tentara resmi Republik, maka segera tampil amat jelas -sekarang ini- betapa kelahiran NKRI sesungguhnya adalah sebuah kelahiran yang penuh kekerasan [die Gewalt dan tak sekedar der Macht dalam bahasa Jerman]. Dan tragedi Republik terjadi karena para elite terdidik Belanda sejenis Hatta, Sjahrir sampai Tan Malaka dan Amir Sjarifuddin serta bekas tentara kolonial seperti T.B.Simatupang tak sepenuhnya sadar bahwa mereka adalah 100% produk kolonial dengan dilema Gewalt/Macht seperti itu. “Gewalt” artiya kekerasan, kewenangan, penguasaan yang merupakan ranah “Negara”, sedangkan “Macht” adalah kekuasaan yang tak lain adalah ranah pemerintah. Dalam bahasa Eropa yang lain, seperti Prancis, Gewalt adalah ranah le politique [“the political” dalam bahasa Inggris] dan “Macht” adalah la politique yang tak lain adalah ranah pemerintahan, the politics.
Kelambu tebal yang memisahkan mereka yang terdidik dalam sistem pendidikan sipil maupun militer kolonial adalah sumber malapetaka yang meledak di Madiun tahun 1948 dan seluruh akibatnya masih tetap terbawa sampai dengan hari ini [tahun 2012]. Masalah seperti itu tak sekedar soal “rivalisme” yang tak lain adalah soal ambisi “wille zur Macht” [nafsu berkuasa], tetapi jauh lebih mendalam dari sekedar gejala jiwa. Hal semacam itu adalah sebuah penyakit struktural yang amat sangat sulit untuk disembuhkan dan sesungguhnya tak lain adalah bentuk “Kristal” dari rasa rendah diri seorang inlander! Sementara gelora revolusi arek adalah sebuah ledakan dari rasa sakit tertindas yang meluap dan ketika pada titik tertentu menemukan puncak kemenangan dalam medan pertempuran  -inilah soal die Gewalt-, maka perang adalah satu-satunya hubungan dengan bekas tuan penjajah. Masalah Negara adalah soal kedaulatan dan etos baru orang “mardika..!”
Pada titik  itu menjadi mudah untuk dimengerti mengapa CI untuk pejuang arek adalah soal kelanjutan revolusi, tapi untuk para ambtenaar politik yang baru -sipil atau militer- dinas intelijen adalah sekedar salah satu wadah untuk duduk berkuasa, dan CI arek cukup dibiayai dengan “candu” alias barang haram.
III
Hal-hal semacam itu dirasakan perlu untuk disampaikan, karena sejarah revolusi yang dilaporkan oleh para wartawan waktu itu -seperti Kahin-, atau para turunannya sampai hari ini, selalu saja meletakkan masalah revolusi itu sebagai awal dari sebuah “red drive proposal” alias awal Perang Dingin.  Padahal masalah lapangan adalah para ambtenaar  [kerani] sudah menyerah pada awal revolusi di Gedung Agung, Yogyakarta, sedangkan kesatuan arek siap memasuki sebuah perang gerilya, “a long protracted warfare”. 
Jarak antara revolusi kerakyatan dan revolusi gedongan [yang dipetik dari kitab-kitab di negeri Belanda] adalah amat sangat lebar. Jarak antara Le politique dan la politique [pemerintah dan Negara] amatlah jauh. Sehingga dalam keadaan yang demikian memilukan pada awal Republik kita boleh bertanya: hal semacam itu semata soal kebodohon? Soal sekedar “Wille zur Macht”? Atau soal oportunisme saja? Atau soal salah komunikasi seperti orang jaman sekarang suka bicara?
Apapun jawab yang akan diberikan, dapat disampaikan bahwa masalah seperti itu bukan dan tidak pernah semata masalah kejiwaan, tetapi amat jauh tertanam dalam tubuh, dalam sikap, dalam selera, dalam pikiran, dalam perasaan dan dalam memilih mana yang buruk dan mana yang baik. Pendek kata soal semacam itu adalah soal kemestian sejarah yang tampaknya sampai hari ini hal semacam itu belum dapat dirampungkan. Dan paparan mengenai CI alias “interlele” ini berfungsi untuk membuka mata bahwa kemestian sejarah bukanlah nasib. CI memang mati sebagai doktrin bernegara. Tetapi kematian itu bukan nasib, tetapi adalah sesuatu yang digerakkan oleh “pemerintah” [la politique]. Negara dimatikan oleh pemerintah. Dan pada titik semacam itu perlawanan harus dilanjutkan.
Pada pengertian ruang-jeda bahwa sejarah [die Gesichte] bukanlah nasib  [der Schicksal] itulah perlawanan itu diletakkan, dan itulah makna mendalam seruan arek untuk berdiri pada tebing eksistensial yang ditandai dengan garis merah  either/or  “merdeka atau mati”3.
­­­
        Oleh karenanya ketika pada tanggal 17 Oktober 1952 -artinya tujuh tahun setelah proklamasi- seluruh moncong meriam TNI diarahkan ke Istana Merdeka, dan bukan ke arah barisan musuh nun-jauh di luar tapal batas Negara, segera Anda bisa mengajukan pertanyaan siapakah musuh Negara di awal Republik? Dan sebaliknya dengan yang terjadi di Indonesia, di sebuah negeri lain, yakni di Cina, pada 25 April 1945 -juga tujuh tahun setelah revolusi mereka melawan Jepang- Jendral Chu Teh mengatakan semacam ini :
“In this struggle we have not only forged a great powerful political line which can solve China’s political problems, but also great, powerful military line which can solve the problem of China’s revolutionary war”.4
Garis [line] politik dan militer bertaut erat, dan hanya dalam pertautan seperti itulah revolusi akan berjalan. Hal yang sama terjadi sekali lagi di Vietnam, baik pada waktu perang kemerdekaan ataupun pada waktu perang ofensif mereka mengusir penjajah Prancis-Amerika dari bentuk Dien-Bien-Phu tahun 1954. Jendral Giap, setelah menguraikan strategi gerilya dalam serangan ofensif itu menambahkan keterangan seperti ini :
“The correct, clear sighted and bold strategy enabled us to deprive the enemy of all possibilities of retrieving  the initiative, and  to create favorably  conditions for us to fight a decisive battle on the battlefield chosen and prepared for by us”.5
Giap mengatakan inisiatif di pihak kita, kartu kita yang menentukan, dan Chu Teh menggariskan satu-tunggalnya garis militer dan politik. Ketika dua hal itu ditemui, maka revolusi berhasil, Tetapi ketika dua hal itu mangkir, revolusi hanya rakus memakan warganya sendiri, seperti di Indonesia. Dan keadaan yang menyesakkan itu terus berlanjut sampai hari ini.
Dapatlah pada akhirnya dikatakan bahwa republik kita ini memang sudah cacat dari lahir, sehingga kita yang lahir kemudian harus menanggung cacat bawaan tersebut.
Yogyakarta, 16 April 2012 
_____________________________________
1.     1.   P.M.H Groen, Masroute En Dwaalsporen, SDU Uitgeverij, ‘s-Gravenhage, 1991, hlm.17

2. Kemungkinan mitologi yang lain terletak pada pemikiran bahwa “massa raksasa rakyat Surabaya” yang bersenjata itu bisa menjadi  suatu “Negara dalam Negara”. Mitologi itu dibentuk dalam otaknya kaum intelektual yang merupakan hasil dari perguruan tinggi di Nederland yang dapat mempunyai kedudukan dalam kabinet pertama pemerintah RI di Jakarta. Pemikiran itu dikeluarkan dalam bentuk dekrit 5 Oktober 1945 tentang mulai adanya TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Timbulnya nama itu karena para pemimpin di pemerintah pusat di Jakarta mempunyai pengertian yang salah tentang terbentuknya massa raksasa rakyat kota Surabaya itu. Mereka kira bahwa massa raksasa rakyat bersenjata itu adalah hasil dari bekerja Badan Keamanan Rakyat [BKR] yang secara resni dibentuk oleh pemerintah pusat di Jakarta. Karena itu nama TKR diberikan mereka kepada massa rakyat yang bersenjata itu. Sebenarnya kenyataannya adalah bahwa gerakan massal untuk merebut senjata senjata dari tentara Jepang itu datangnya secara spontan dari jiwa pemuda seluruh kampung-kampung di Kota Surabaya yang dibikin marah dan dipicu oleh kelompok Indo-Belanda yang menaikkan bendera Kerajaan Belanda pada 19 September 1945 di Jl.Tunjungan yang terletak dikelilingi oleh kampung-kampung rakyat Kota Surabaya yang sangat luas. Organisasi BKR dalam masalah ini hanya berfungsi pada saat itu sebagai penonton dan seterusnya dalam gerakan perebutan  senjata secara massal itu berfungsi hanya sebagai penonton. Tidak mempunyai fungsi organisatoris. Hal itu telah ditulis oleh Hario Kecik dalam otobiografinya “Memoar Hario Kecik ke-1” tahun 1995.

3. akar kata der Schicksal  adalah “schicken”, artinya: mengirim. Maka sejarah (die Gesichte) adalah “kiriman dari masa silam”. Sedangkan der Schicksal [nasib] adalah “yang terkirimkan” itu. Jadi “nasib” dalam pembedaan dengan “sejarah” tidak dalam arti destiny/fate, tapi justru merupakan kesempatan/ruang-jeda untuk menemukan kebebasan yang tak lain adalah perlawanan atau bahkan revolusi. 
Atau menurut Alain Badiou, ruang-jeda itu disebut evenement atau sekali lagi dengan istilah dari Eropa melalui orang Itali bernama Toni Negri, hal yang sama itu disebut “khairos” [dan bukan “chronos”], dan artinya adalah “saat kebenaran itu membuka diri”.....

4. [Chu Teh, “The Battlefronts of the Liberated Areas”, Peking, 1952, hlm.90]

5. [Vo Nguyen Giap, ”Dien Bien Phu”, Hanoi, 1962, hlm.23]

*Pengantar buku INTELIJEN karya Hario Kecik. Penerbit Abhiseka Dipantara, 2012.